TUJUAN
HUKUM
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
“FILSAFAT
HUKUM ISLAM”
Disusun
oleh :
Asrori
Ibnu Ridlo 1212007
Dosen
Pembimbing :
H
Ilham Tohari, M.Hi.
JURUSAN AHWAL ASY-SYAKHSIYAH FAKULTAS
AGAMA ISLAM UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI
DARUL ULUM JOMBANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebagaimana kita
ketahui bahwa tujuan hukum Islam adalam memberikan pedoman hidup kepada manusia
agar dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Maka muncul pertanyaan “Dari
mana kita mengetahui tujuan tersebut?”. Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah
ta’ala dengan bekal untuk hidup yaitu fitrah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu
Alaihi Wasalam yang artinya :
“Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang
tuanya lah yang menjadikan dia seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi”.
HR Bukhari
Fitrah dalam hal ini
adalah Islam, yaitu fitrah yang telah Allah tetapkan kepada setiap manusia.
Agar fitrah ini selalu terjaga maka manusia diberikan daya dan potensi yaitu
berupa : Aql, Syahwah dan Ghadlab. Daya ‘Aql berfungsi mengetahui (ma’rifat)
Allah dan mengesakannya. Daya syahwat berfungsi untuk menginduksi obyek-obyek
yang menyenangkan dan member manfaat bagi manusia. Daya ghadlab berfungsi untuk
mempertahankan diri dan memelihara kelanggengan hidup yang menyenangkan.
B. Rumusan
Masalah
- Bagaimana
dan apa tujuan dari hukum islam?
BAB II
PEMBAHASAN
Secara
global, tujuan syara’ dalam menciptakan hokum-hukum islam adalah untuk
kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan didunia yang fana ini,
maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak. Firman Allah dalam surah
Ali Imran ayat 159 yang berbunyi:
Artinya:
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya[1].”
Demikian
juga dalam surah Al Baqarah ayat 201-202 yang berbunyi:
Artinya:
“Dan
di antara mereka ada orang yang bendo'a: "Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa
neraka (201). Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang
mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya[2].”
Demikian tujuan syara; secara
global. Akan tetapi apabila kita perinci, maka tujuan syara’ dalam menetapkan
hokum-hukumnya ada lima, yaitu:
a) Memelihara
kemaslahatan agama
Agama adalah suatu yang
harus dimiliki oleh manusia supaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi
dari makhluq lain, dan juga untuk memenuhi hajat jiwanya. Agama islam merupakan
nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan di dalam
alqur’an, surah Al maidah ayat 3:
Artinya:
”
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu,
sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa
terpaksa [398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Beragama
merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus
dipenuhi karena agamalah yang dapat menyentuh nurani manusia. Agama islam harus
terpelihara daripada ancaman orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang
hendak merusak akidahnya, ibadah dan akhlaqnya. Atau orang yang akan
mencampuradukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan aliran yang
batil[3].
Pengamalan
agama islam secara utuh dan menyeluruh, baik yang berhubungan dengan Allah
maupun yang berhubungan dengan sekalian manusia dan makhluq lainya, sebagaimana
petunjuk Rasulullah adalah merupakan rahmad-Nya yang patut disyukuri.
b) Memelihara
jiwa
Untuk
tujuan ini, islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan
hukuman qisas (pembalasan yang seimbang), sehingga dengan demikian diharapkan
agar orang sebelum melakukan pembunuhan, berpikir sekian kali, karena apabila
orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika orang
yang dibunuh itu tidak mati tetapi hanya cidera, maka si pelakunya juga akan
cidera pula[4].
Firman
Allah surah Al Baqarah ayat 178-179 yang berbunyi:
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih (178). Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa[5].”
c) Memelihara
akal
Manusia
adalah makhluq Allah SWT. Ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluq
lain. Pertama Allah telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik,
dibandingkan dengan makhluq-makhluq lain.
Akan tetapi bentuk yang
indah itu tidak ada gunanya, kalau tidak ada hal yang kedua, yaitu akal. Oleh
karena itu Allah memerintahkan kita untuk mengunakan kita dengan
sebaik-baiknya. Surah : Al-An'am Ayat :
32
Artinya:
“Dan
tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka .
Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka
tidakkah kamu memahaminya[6]?”
d) Memelihara
keturunan
Untuk
ini islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa
yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan
syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan
percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan
anak-anak yang yang labir dari hubungan itu dianggap sah dan menjadi keturunan
sah dari ayahnya[7].
Artinya:
“Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)[8].”
e) Memelihara
harta benda dan keturunan
Meskipun
pada hakekatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun islam juga mengakui
hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tamak kepada harta benda,
sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun, maka islam mengatur supaya
jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk ini islam
mensyari’atkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual-beli, sewa
menyewa, gadai menggadai dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan
mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya[9].
Artinya:
”
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahu[10]i.”
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa tujuan syara’ dalam menciptakan hokum-hukum islam adalah
untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan didunia yang fana ini,
maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak,
Akan
tetapi apabila kita perinci, maka tujuan syara’ dalam menetapkan hokum-hukumnya
ada lima, yaitu:
Menjaga
agama, Menjaga jiwa, Menjaga akal, Menjaga keturunan dan Menjaga harta benda.
DAFTAR
PUSTAKA
- Hanafi
Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1970
- Syah
Prof. Dr. H. Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Bumi Aksara,
1991
- http://www.alquran-indonesia.com/web/quran
[1]
http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/3/159
[2]
http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/2/201-202
[3]
Prof. Dr. H. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara). Hal 67-68
[4]
Ibid, hal 70
[5]
http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/2/178-179
[6]
http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/6/32
[7]
Prof. Dr. H. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara). Hal 97
[8]
http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/4/20
[9]
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang)
hal192
[10]
http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/2/180
No comments:
Post a Comment