ISBAT NIKAH MENURUT PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
“KOMPILASI
HUKUM ISLAM”
Disusun
oleh :
Abdul
Jabbar Taufiqi 1212012
Asrori
Ibnu Ridlo 1212007
Fanani
Dosen
Pembimbing :
Agus
Mahfudin. M.Si
JURUSAN AHWAL
ASY-SYAKHSIYAH FAKULTAS
AGAMA ISLAM UNIVERSITAS PESANTREN
TINGGI DARUL ULUM JOMBANG
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Meskipun ulama Indonesia pada umumnya menyatakan
setuju atas ketentuan pencatatan perkawinan sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2)
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun pada kenyataannya masyarakat
muslim Indonesia masih ada yang menanggapi pencatatan perkawinan dengan
mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu menjadi tidak sah
dari segi agama. Efek domino dari penolakan secara diam-diam ini, melahirkan
budaya hukum (meminjam istilah Lawrence Friedman: legal culture) orang
Islam Indonesia melakukan kawin di bawah tangan tanpa memperdulikan akibatnya
di kemudian hari.
Dalam konteks ini, Prof. Dr. H. Satria Effendi M.
Zein,
membagi
ketentuan yang mengatur tentang pernikahan dalam 2 (dua) kategori, yaitu: 1)
peraturan syara’, dan 2) peraturan tawsiq, yaitu peraturan tambahan yang
bermaksud agar pernikahan di kalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat
dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang
berwenang. Pengembangan dari teori tersebut, kategori pertama disebut juga
dengan nau’ syar’iyah yaitu yang berkaitan dengan ketentuan Pasal
1 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, sedangkan kategori kedua disebut juga
dengan nau’ tautsiqiyah yaitu yang berkaitan dengan ketentuan pencatatan
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Di
lain segi, kepastian hukum sebagai salah satu dari tiga asas penegakan hukum
yaitu 1) asas kepastian hukum, 2) asas keadilan, 3) asas manfaat, merupakan
dimensi normative. Dalam dimensi normative, kepastian hukum menjelma sebagai
suatu peraturan yang diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Kepastian hukum dari perkawinan yang diitsbatkan inilah yang menjadi
bahasan utama dalam makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
isbat nikah menurut Undang Undang Perkawinan 1974?
2. Bagaimana
isbat nikah menurut Kompilasi Hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
Itsbat nikah berasal dari bahasa Arab yang terdiri isbat dan nikah. Itsbat berasal dari bahasa
arab berarti penetapan, pengukuhan, pengiyaan. Itsbat nikah sebenarnya sudah menjadi istilah
dalam Bahasa Indonesia dengan sedikit revisi yaitu dengan sebutan isbat nikah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat nikah adalah penetapan tentang
kebenaran (keabsahan) nikah. Itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan
yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat
oleh KUA atau PPN yang berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan).
Status perkawinan dalam hal ini diartikan dengan keadaan
dan kedudukan perkawinan yang telah dilangsungkan. Dalam aspek ini sebenarnya
undang-undang telah memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah. Pasal 2
Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa Dengan
perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum
rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang
Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau
tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Berdasarakan ketentuan Pasal 2
Ayat 1 UUP dan penjelasannya ini, dapat diketahui bahwa patokan untuk
mengetahui suatu perkawinan sah adalah hukum masing-masing agama dan
kepercayaan para pihak serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UUP.
Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan
perkawinan akan menimbulkan kemaslahatan umum karena dengan pencatatan ini akan
memberikan kepastian hukum terkait dengan hak-hak suami/isteri, kemaslahatan
anak maupun efek lain dari perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang dilakukan di
bawah pengawasan atau di hadapan Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan
Agama akan mendapatkan Akta Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah
perkawinan.
Akta Nikah merupakan akta autentik karena Akta Nikah
tersebut dibuat oleh dan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat yang
berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan, dibuat sesuai dengan bentuk
yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan dibuat di
tempat Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama tersebut melaksanakan
tugasnya. Meskipun, Peraturan Perundang-Undangan sudah mengharuskan adanya Akta
Nikah sebagai bukti perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang
telah menikah tidak mempunyai Kutipan Akta Nikah. Kemungkinan yang jadi
penyebab tidak adanya Kutipan Akta Nikah disebabkan oleh beberapa faktor
seperti; (a) kelalaian pihak suami isteri atau pihak keluarga yang
melangsungkan pernikahan tanpa melalui prosedur yang telah ditentukan
pemerintah. Hal ini kelihatan semata-mata karena ketidaktahuan mereka mereka
terhadap peraturan dan ketentuan yang ada (buta hukum); (b) Besarnya
biaya yang dibutuhkan bila mengikuti prosedur resmi tersebut; (c) Karena
kelalaian petugas Pegawai Pecatat Nikah/wakil seperti dalam memeriksa
surat-surat/persyaratan-persyaratan nikah atau berkas-berkas yang ada
hilang; (d) Pernikahan yang dilakukan sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan
(e) Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya
persetujuan dari isteri sebelumnya.
Kompilasi Hukum Islam juga memberikan rumusan tentang
perkawinan yang sah dan ketentuan untuk tertibnya perkawinan. Pasal 4 Kompilasi
Hukum Islam memberikan penegasan bahwa “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU no 1 tahun1974
tentang perkawinan. Pasal 5 KHI merumuskan: (1) agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat; (2)
pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946
Itsbat nikah yang dilaksanak oleh Pengadilan Agama karena
pertimbangan mashlahah bagi umat Islam. Itsbat nikah sangat bermanfaat bagi
umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat
atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan
jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami
istri.
Dalam hubungannya dengan hal di atas, dewasa ini
permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama dengan berbagai
alasan, pada umumnya perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengadilan Agama selama
ini menerima, memeriksa dan memberikan penetapan permohonan itsbat nikah
terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun. Namun oleh karena itsbat nikah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka
hakim Pengadilan Agama melakukan “ijtihad” dengan menyimpangi tersebut,
kemudian mengabulkan permohonan itsbat nikah berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat
(3) huruf e Kompilasi Hukum Islam. Apabila perkawinan yang dimohonkan untuk
diitsbatkan itu tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Pengadilan Agama akan
mengabulkan permohonan itsbat nikah meskipun perkawinan itu dilaksanakan pasca
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena
itu, penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama tersebut, tidak lebih hanya
sebagai kebijakan untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur tentang itsbat nikah
terhadap perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Peraturan syara’
adalah peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan.
Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan Syari’at Islam seperti yang
telah dirumuskan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang pada
intinya adalah kemestian adanya ijab dan kabul dari masing-masing dua orang
yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang sama,
dengan menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadinya ijab dan kabul yang
diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk
melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang saksi yang
telah baligh berakal lagi beragama Islam, di mana dua orang saksi itu
disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab kabul tersebut. Dua
orang saksi tersebut mengerti tentang isi ijab dan kabul itu serta
syarat-syarat lainnya seperti yang telah dibentangkan dalam kajian fiqih, dan
tidak terdapat larangan hukum syara’.
Peraturan tersebut di atas merupakan unsur-unsur
pembentuk akad nikah. Apabila unsur-unsur pembentuknya seperti diatur dalam
Syari’at Islam telah secara sempurna terpenuhi, maka menurutnya akad nikah itu
secara syar’i telah dianggap sah, sehingga halal bergaul sebagaimana layaknya
suami istri yang sah dan anak dari hubungan suami istri itu sudah dianggap
sebagai anak yang sah.
Perkembangan pemikiran tentang dasar perintah pencatatan
nikah, setidaknya ada dua alasan, yaitu qiyas danmaslahah mursalah.
a. Qiyas
1).
Diqiyaskan kepada pencatatan kegiatan mudayanah yang dalam situasi tertentu
diperintahkan agar dicacat. Firman Allah QS. al-Baqarah ayat 282:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ ......
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
... .
2).
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan,
mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk
dicatatkan.
3). Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
3). Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
وَكَيْفَ
تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ
مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri.
dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang
kuat.
b. Maslahah Mursalah.
Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak dianjurkan oleh syari’at
dan juga tidak dilarang oleh syari’at, semata-mata hadir atas dasar kebutuhan
masyarakat. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu
prinsip dalam penetapan hukum Islam. Dalam hal ini, itsbat nikah dipandang
sebagai suatu kemaslahatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
2.
Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Anak
Sesuai dengan pembahasan sebelumnya bahwa itsbat nikah
hanya dimungkinkan bagi perkawinan yang tidak ada bukti dicatatkan oleh lembaga
berwenang yang memenuhi peraturan syara’, tentunya itsbat nikah yang
dilaksanakan akan memberikan kepastian hukum terhadap status anak yang dilahirkan
dalam perkawinan tersebut. dalam hal ini, kepastian hukum tentang status anak
di antaranya dapat dilihat dari peraturan berikut ini:
a.
Undang-undang Dasar
Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu: "Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah";
b.
Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42, yaitu : "Anak sah adalah
anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah";
c.
Pasal 2 ayat (1),
yaitu : "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu";
d.
Pasal 2 ayat (2),
yaitu :"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku "
e.
Pasal 99 KHI, Anak
yang sah adalah:
1.
anak yang dilahirkan
dalam atau akibat perkawinan yang sah;
2.
hasil perbuatan
suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Dilihat dari alasan pengajuan itsbat nikah, alasan utama
para pemohon mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama adalah
dalam rangka mengurusan Akta Kelahiran anak-anak mereka di samping untuk
mendapatkan kepastian hukum perkawinan para pemohon itu sendiri. Ini berarti
para orang tua (ayah-ibu) ingin memperjelas status anak-anak mereka yang lahir
dari perkawinan yang tidak tercatat atau tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan. Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang
tidak tercatat/dicatatkan, pada Akta Kelahiran yang dikeluarkan oleh Kantor
Catatan Sipil hanya akan mencantumkan nama ibunya sama dengan Akta Kelahiran
anak-anak yang lahir di luar nikah.
Itsbat nikah oleh Pengadilan Agama oleh para pemohon
digunakan sebagai alas hukum untuk mencatatkan perkawinannya pada Pegawai
Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan, dan Kantor Urusan Agama Kecamatan
akan mengeluarkan Buku Kutipan Akta Nikah sebagai bukti otentik bahwa suatu
perkawinan telah tercatat, untuk selanjutnya Buku Kutipan Akta Nikah itu akan
digunakan oleh yang bersangkutan untuk mengurus Akta Kelahiran Anak pada Kantor
Catatan Sipil yang mewilayahinya dengan dilampiri penetapan itsbat nikah oleh
Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama dengan itsbat nikah mempunyai andil dan
kontribusi yang sangat besar dan penting dalam upaya memberikan rasa keadilan
dan kepastian serta perlindungan hukum bagi masyarakat. Mereka yang selama ini
tidak memiliki Kartu Keluarga karena tidak mempunyai Buku Nikah, setelah adanya
penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama mereka akan mudah mengurus Kartu
Keluarga dan Akta Kelahiran anak-anaka mereka sehingga sudah tidak kesulitan
untuk masuk sekolah. Bahkan, calon jamaah haji yang tidak mempunyai Buku Nikah
sangat terbantu dengan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama untuk mengurus
paspor.
Ketentuan pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan
agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam (Pasal 5 Ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam) dan untuk menjamin ketertiban hukum (legal order)
sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, di samping sebagai bukti
otentik adanya perkawinan. Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk
intervensi pemerintah atau negara untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya
hak-hak sosial setiap warga negara, khususnya pasangan suami istri, serta
anak-anak yang lahir dari perkawinan itu.
Akibat hukum terhadap anak-anak yang dilahirkannya dari
perkawinan yang telah memenuhi peraturan syara’ tidak dapat dinyatakan sebagai
anak zina yang identik dengan anak di luar perkawinan, melainkan sebagai anak
yang sah dengan segala konsekwensi hukumnya, seperti akibat pekawinan tidak
tercatat itu menyebabkan anak-anak yang dilahirkan nasabnya dihubungkan kepada
kedua orang tuanya itu, demikian pula hak dan kewajiban orang tua terhadap
anak-anak seharusnya berjalan sebagai mana mestinya, di antara mereka dapat
saling mewarisi satu dengan yang lainnya dan apabila anak yang dilahirkan itu
perempuan, maka ayahnya berhak menjadi wali anak perempuannya berlaku secara
natural (alamiah) saja. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kepastian hukum harus
dilakukan itsbat nikah di pengadilan Agama.
3.
Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Harta Perkawinan
Sejalan dengan kepastian hukum itsbat nikah terhadap
status perkawinan, status anak, maka itsbat nikah juga akan memberikan
kepastian hukum terhadap stutus harta perkawinan. Dengan adanya itsbat nikah,
penyelesaian sengketa harta perkawinan dapat merujuk kepada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada, seperti ketentuan Bab VII UU Nomor 1 tahun 1974 mengatur
tentang harta benda dalam perkawinan. Pada pasal 35 disebutkan bahwa (1) Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; (2) Harta bawaan
dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
Dalam pasal 36 dirumuskan bahwa: (1) Mengenai harta
bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak;
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai hartanya. Apabila pasangan
suami istri itu perkawinannya putus karena perceraian, maka masing-masing pihak
akan mendapatkan separoh dari harta bersama (gono gini) yang mereka peroleh
selama dalam ikatan perkawinan sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
kawin (Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 97
Kompilasi Hukum Islam).
ISBAT NIKAH
MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERKAWINAN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
BAB
II
PEMBAHASAN
Itsbat nikah berasal
dari bahasa Arab yang terdiri isbat dan nikah. Itsbat berasal dari bahasa
arab berarti penetapan, pengukuhan, pengiyaan. Itsbat nikah sebenarnya sudah menjadi istilah
dalam Bahasa Indonesia dengan sedikit revisi yaitu dengan sebutan isbat nikah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat nikah adalah penetapan tentang
kebenaran (keabsahan) nikah. Itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan
yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat
oleh KUA atau PPN yang berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan).
Status perkawinan dalam
hal ini diartikan dengan keadaan dan kedudukan perkawinan yang telah
dilangsungkan. Dalam aspek ini sebenarnya undang-undang telah memberikan
rumusan tentang perkawinan yang sah. Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam
penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini,
tidak ada Perkawinan diluar hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang
ini. Berdasarakan ketentuan Pasal 2 Ayat 1 UUP dan penjelasannya ini, dapat
diketahui bahwa patokan untuk mengetahui suatu perkawinan sah adalah hukum
masing-masing agama dan kepercayaan para pihak serta ketentuan
perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam UUP.
Pasal 2 ayat (2)
menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan akan menimbulkan
kemaslahatan umum karena dengan pencatatan ini akan memberikan kepastian hukum
terkait dengan hak-hak suami/isteri, kemaslahatan anak maupun efek lain dari
perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan atau di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama akan mendapatkan Akta
Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah perkawinan.
Akta Nikah merupakan
akta autentik karena Akta Nikah tersebut dibuat oleh dan di hadapan Pegawai
Pencatat Nikah sebagai pejabat yang berwenang untuk melakukan pencatatan
perkawinan, dibuat sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan dibuat di tempat Pegawai Pencatat
Nikah/Kantor Urusan Agama tersebut melaksanakan tugasnya. Meskipun, Peraturan
Perundang-Undangan sudah mengharuskan adanya Akta Nikah sebagai bukti
perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang telah menikah tidak
mempunyai Kutipan Akta Nikah. Kemungkinan yang jadi penyebab tidak adanya
Kutipan Akta Nikah disebabkan oleh beberapa faktor seperti; (a) kelalaian pihak
suami isteri atau pihak keluarga yang melangsungkan pernikahan tanpa melalui
prosedur yang telah ditentukan pemerintah. Hal ini kelihatan semata-mata karena
ketidaktahuan mereka mereka terhadap peraturan dan ketentuan yang ada
(buta hukum); (b) Besarnya biaya yang dibutuhkan bila mengikuti prosedur resmi
tersebut; (c) Karena kelalaian petugas Pegawai Pecatat Nikah/wakil seperti
dalam memeriksa surat-surat/persyaratan-persyaratan nikah atau berkas-berkas
yang ada hilang; (d) Pernikahan yang dilakukan sebelum lahirnya Undang-Undang
Perkawinan (e) Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama
tidak adanya persetujuan dari isteri sebelumnya.
Kompilasi Hukum Islam
juga memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah dan ketentuan untuk
tertibnya perkawinan. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam memberikan penegasan bahwa
“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai
dengan pasal 2 ayat 1 UU no 1 tahun1974 tentang perkawinan. Pasal 5 KHI
merumuskan: (1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat; (2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat
(1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang No.22 Tahun 1946
Itsbat nikah yang
dilaksanak oleh Pengadilan Agama karena pertimbangan mashlahah bagi umat Islam.
Itsbat nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan
hak-haknya yang berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari
instansi yang berwenang serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum
terhadap masing-masing pasangan suami istri.
Dalam hubungannya
dengan hal di atas, dewasa ini permohonan itsbat nikah yang diajukan ke
Pengadilan Agama dengan berbagai alasan, pada umumnya perkawinan yang
dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pengadilan Agama selama ini menerima, memeriksa dan memberikan
penetapan permohonan itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun. Namun oleh karena itsbat nikah sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, maka hakim Pengadilan Agama melakukan “ijtihad”
dengan menyimpangi tersebut, kemudian mengabulkan permohonan itsbat nikah
berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam. Apabila
perkawinan yang dimohonkan untuk diitsbatkan itu tidak ada halangan perkawinan
sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka Pengadilan Agama akan mengabulkan permohonan itsbat nikah
meskipun perkawinan itu dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Oleh karena itu, penetapan itsbat nikah oleh
Pengadilan Agama tersebut, tidak lebih hanya sebagai kebijakan untuk mengisi
kekosongan hukum yang mengatur tentang itsbat nikah terhadap perkawinan yang
dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Peraturan syara’ adalah peraturan yang
menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah
peraturan yang ditetapkan Syari’at Islam seperti yang telah dirumuskan dalam
kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang pada intinya adalah kemestian
adanya ijab dan kabul dari masing-masing dua orang yang berakad (wali dan calon
suami) yang diucapkan pada majelis yang sama, dengan menggunakan lafal yang
menunjukan telah terjadinya ijab dan kabul yang diucapkan oleh masing-masing
dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk melakukan akad menurut hukum
syara’ serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah baligh berakal lagi
beragama Islam, di mana dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri
secara langsung lafal ijab kabul tersebut. Dua orang saksi tersebut mengerti
tentang isi ijab dan kabul itu serta syarat-syarat lainnya seperti yang telah
dibentangkan dalam kajian fiqih, dan tidak terdapat larangan hukum syara’.
Peraturan tersebut di
atas merupakan unsur-unsur pembentuk akad nikah. Apabila unsur-unsur
pembentuknya seperti diatur dalam Syari’at Islam telah secara sempurna terpenuhi,
maka menurutnya akad nikah itu secara syar’i telah dianggap sah, sehingga halal
bergaul sebagaimana layaknya suami istri yang sah dan anak dari hubungan suami
istri itu sudah dianggap sebagai anak yang sah.
Perkembangan pemikiran
tentang dasar perintah pencatatan nikah, setidaknya ada dua alasan, yaitu qiyas danmaslahah mursalah.
a. Qiyas
1). Diqiyaskan kepada pencatatan kegiatan
mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan agar dicacat. Firman Allah
QS. al-Baqarah ayat 282:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ ......
Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .
2). Apabila akad hutang piutang atau hubungan
kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung,
dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
3). Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
3). Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
وَكَيْفَ
تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ
مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan
yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil
dari kamu perjanjian yang kuat.
b. Maslahah
Mursalah.
Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak dianjurkan oleh syari’at dan
juga tidak dilarang oleh syari’at, semata-mata hadir atas dasar kebutuhan masyarakat.
Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam
penetapan hukum Islam. Dalam hal ini, itsbat nikah dipandang sebagai suatu
kemaslahatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
2. Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap
Status Anak
Sesuai dengan
pembahasan sebelumnya bahwa itsbat nikah hanya dimungkinkan bagi perkawinan
yang tidak ada bukti dicatatkan oleh lembaga berwenang yang memenuhi peraturan
syara’, tentunya itsbat nikah yang dilaksanakan akan memberikan kepastian hukum
terhadap status anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. dalam hal ini,
kepastian hukum tentang status anak di antaranya dapat dilihat dari peraturan
berikut ini:
a. Undang-undang Dasar
Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu: "Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah";
b. Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42, yaitu : "Anak sah adalah anak
yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah";
c. Pasal 2 ayat (1), yaitu
: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu";
d. Pasal 2 ayat (2), yaitu
:"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku "
e. Pasal 99 KHI, Anak yang
sah adalah:
1. anak yang dilahirkan
dalam atau akibat perkawinan yang sah;
2. hasil perbuatan suami
isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Dilihat dari alasan
pengajuan itsbat nikah, alasan utama para pemohon mengajukan permohonan itsbat
nikah ke Pengadilan Agama adalah dalam rangka mengurusan Akta Kelahiran
anak-anak mereka di samping untuk mendapatkan kepastian hukum perkawinan para
pemohon itu sendiri. Ini berarti para orang tua (ayah-ibu) ingin memperjelas
status anak-anak mereka yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat atau
tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat/dicatatkan, pada Akta
Kelahiran yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil hanya akan mencantumkan
nama ibunya sama dengan Akta Kelahiran anak-anak yang lahir di luar nikah.
Itsbat nikah oleh
Pengadilan Agama oleh para pemohon digunakan sebagai alas hukum untuk
mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan, dan Kantor Urusan Agama Kecamatan akan mengeluarkan Buku Kutipan
Akta Nikah sebagai bukti otentik bahwa suatu perkawinan telah tercatat, untuk
selanjutnya Buku Kutipan Akta Nikah itu akan digunakan oleh yang bersangkutan
untuk mengurus Akta Kelahiran Anak pada Kantor Catatan Sipil yang mewilayahinya
dengan dilampiri penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama dengan
itsbat nikah mempunyai andil dan kontribusi yang sangat besar dan penting dalam
upaya memberikan rasa keadilan dan kepastian serta perlindungan hukum bagi
masyarakat. Mereka yang selama ini tidak memiliki Kartu Keluarga karena tidak
mempunyai Buku Nikah, setelah adanya penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan
Agama mereka akan mudah mengurus Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran anak-anaka
mereka sehingga sudah tidak kesulitan untuk masuk sekolah. Bahkan, calon jamaah
haji yang tidak mempunyai Buku Nikah sangat terbantu dengan itsbat nikah oleh
Pengadilan Agama untuk mengurus paspor.
Ketentuan pencatatan
perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan agar terjamin ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam (Pasal 5 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam) dan untuk
menjamin ketertiban hukum (legal order) sebagai instrumen kepastian hukum,
kemudahan hukum, di samping sebagai bukti otentik adanya perkawinan. Pencatatan
perkawinan merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah atau negara untuk
melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak sosial setiap warga negara,
khususnya pasangan suami istri, serta anak-anak yang lahir dari perkawinan
itu.
Akibat hukum terhadap
anak-anak yang dilahirkannya dari perkawinan yang telah memenuhi peraturan
syara’ tidak dapat dinyatakan sebagai anak zina yang identik dengan anak di
luar perkawinan, melainkan sebagai anak yang sah dengan segala konsekwensi
hukumnya, seperti akibat pekawinan tidak tercatat itu menyebabkan anak-anak
yang dilahirkan nasabnya dihubungkan kepada kedua orang tuanya itu, demikian
pula hak dan kewajiban orang tua terhadap anak-anak seharusnya berjalan sebagai
mana mestinya, di antara mereka dapat saling mewarisi satu dengan yang lainnya
dan apabila anak yang dilahirkan itu perempuan, maka ayahnya berhak menjadi
wali anak perempuannya berlaku secara natural (alamiah) saja. Oleh sebab itu,
untuk mendapatkan kepastian hukum harus dilakukan itsbat nikah di pengadilan
Agama.
3. Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap
Status Harta Perkawinan
Sejalan dengan
kepastian hukum itsbat nikah terhadap status perkawinan, status anak, maka
itsbat nikah juga akan memberikan kepastian hukum terhadap stutus harta
perkawinan. Dengan adanya itsbat nikah, penyelesaian sengketa harta perkawinan
dapat merujuk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti
ketentuan Bab VII UU Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang harta benda dalam
perkawinan. Pada pasal 35 disebutkan bahwa (1) Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama; (2) Harta bawaan dari masing-masing
suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah di bawah penguasan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Dalam pasal 36
dirumuskan bahwa: (1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak; (2) Mengenai harta bawaan masing-masing,
suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai hartanya. Apabila pasangan suami istri itu perkawinannya putus karena
perceraian, maka masing-masing pihak akan mendapatkan separoh dari harta
bersama (gono gini) yang mereka peroleh selama dalam ikatan perkawinan
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin (Pasal 37 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam).
BAB III
KESIMPULAN
Itsbat nikah menurut peraturan perundang-undangan hanya
dimungkinkan terhadap perkawinan yang memenuhi syarat syar’i baik
pelaksanaannya sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan.
Perkawinan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum
adalah perkawinan yang sesuai peraturan syar’i dan peraturan tawtsiqiy. Dalam
upaya adanya pertanggungjawaban perkawinan dimaksud, perkawinan yang sesuai
dengan peraturan syar’i agar juga memenuhi syarat tausiqy, maka itsbat nikah
merupakan hal yang mutlak demi tertibnya administrasi perkawinan di wilayah
hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
berimplikasi pada kepastian hukum terhadap status perkawinan, status anak, dan
status harta perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH, kepastian hukum (rechtszekerheid)
‘Itsbat Nikah’
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,38146-lang,id
t,Kepastian+Hukum+%E2%80%9CItsbat+Nikah%E2%80%9D+Terhadap+Status+Perkawinan++Anak+dan+Harta+Perkawinan-.phpx
No comments:
Post a Comment