SEJARAH PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
“HUKUM TATA USAHA NEGARA”
Disusun
oleh :
Asrori
Ibnu Ridlo 1212007
Dosen
Pembimbing :
Mahnud Huda, M.Si.
JURUSAN AHWAL ASY-SYAKHSIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS PESANTREN
TINGGI DARUL ULUMJOMBANG
2013
PEMBAHASAN
Lahirnya Perdilan Tata Usaha Negara
Bagi Indonesia
keinginan untuk memiliki Peradilan Tata Usaha Negara yang pada mulanya disebut
Peradilan Administrasi Negara kemudian berubah nama Peradilan Tata Usaha
Pemerintahan kemudian setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
istilah yang digunakan adalah Peradilan Tata Usaha Negara, sudah lama
dicita-citakan sejak zaman pemerintahan jajahan Belanda. Namun, keinginan itu
selalu kandas di tengah jalan karena berbagai alasan. Keinginan itu baru
terwujud pada penghujung Tahun 1986, yakni dengan diundangkannya UU Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada tanggal 29 Desember
1986.
Meskipun UU No.
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berlaku pada saat diundangkan
, namun UU tersebut belum berlaku secara efektif karena penerapan UU ini akan
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU diundangkan ( pasal 145 UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara ). Karena itu hingga akhir tahun 1990,
meskipun lembaganya sudah terbentuk, namun belum bisa menyelesaikan perkata TUN
yang timbul. Bila ditelaah lebih lanjut, beberapa pasal dalam UU NO. 5
Tahun 1986 masih memerlukan peraturan pelaksanaan . Selain itu Peradilan TUN
adalah suatu
lembaga baru yang masih memerlukan persiapan. Oleh karena itu pemerintah
diberikan waktu ancang-ancang untuk melakukan persiapan seperlunya , baik yang
menyangkut prasarana dan sarana maupun personalianya. Waktu yang diberikan oleh
UU No. 5 Tahun 1986 paling lambat 5 tahun.
Bagaimanapun kelahiran
UU tersebut adalah suatu langkah maju dalam era
pembangunan hukum yang dicanangkan pemerintah dan juga menunjukkan adanya
itikad baik dari pemerintah, karena pihak pemerintahlah yang menjadi tergugat tetapi
pihak pemerintah jugalah yang mengajukan Rancangan UU tersebut ke Dewan
Perwakilan Rakyat. Keberadaan Peradilan TUN merupakan
salah satu jalur yudisial dalam rangka pelaksanaan asas perlindungan hukum, di
samping pengawasan jalur Administratif yang berjalan sesuai dengan jalur
yang ada dalam lingkungan pemerintahan sendiri. Karena itu Peradilan TUN memberikan
landasan pada badan yudikatif untuk menilai tindakan eksekutif serta mengatur
mengenai perlindungan hukum kepada masyarakat.
Peradilan TUN
telah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan berliku. Oleh karena itu, kita
harus menelusuri dari zaman pra-kemerdekaan hingga sesudah kemerdekaan. Pada
zaman pemerintahan Belanda tidak dikenal adanya Peradilan TUN sebagai suatu
lembaga yang berdiri sendiri, yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan
menyelesaikan sengketa di bidang Tata Usaha Negara. Peradilan Administrasi
Negara (TUN) pada waktu itu dilakukan baik oleh hakim administrasi Negara (TUN),
yaitu hakim khusus yang memeriksa perkara administrasi Negara ( TUN ), maupun
hakim perdata. Ketentuan yang digunakan pada waktu itu adalah pasal 134 IS jo (
Indische Staatsregeling ) , pasal 2 RO ( Reglement op de Rechter Iijke
Organisatie en het beleid der justitie in Indonesia ). Inti dari pasal 134 ayat
(1) IS jo da pasal 2 RO adalah bahwa peradilan hanya dilakukan oleh
kekuasaan kehakiman semata. Selain itu, ada pula
pasal yang menyinggung masalah itu, yakni pasal 138 ayat (1) IS dan pasal 2
ayat 2 RO.
Pada Tahun 1942,
pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Dengan jatuhnya
pemerintah Belanda maka berakhirlah riwayat pemerintah Hindia Belanda dan
mulailah zaman pemerintahan Jepang dengan menerapkan pemerintahan militernya.
Pada masa pendudukan Jepang ini, pemerintahan militer yang lebih sibuk
berperang, tidak begitu banyak menaruh perhatian terhadap kelengkapan perangkat
kenegaraan. Namun, untuk menjaga kelangsungan roda pemerintahan, diundangkanlah
UU Nomor 1 tanggal 7 Maret 1942. Pasal 3 dari UU ini, yang merupakan aturan
peralihan yakni :
“Semua badan-badan pemerintahan dan
kekuasaannya, hokum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui
sah bagi sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan
aturan pemerintah militer”
Dengan perkataan
lain, selama pendudukan Jepang masih tetap digunakan sistem
IS dan RO, yakni system banding administratif (administratief beroep).
Setelah Indonesia merdeka, untuk kali pertama
pada tahun 1946 Wirjono Prodjodikoro membuat Rancangan Undang Undang
tentang Acara Perkara Dalam Soal Tata Usaha Pemerintahan. Di samping itu masih
ada usaha lain yang mendukung perwujudan Peradilan TUN. Misalnya kegiatan-kegiatan
yang berupa penelitian, symposium, seminar, penyusunan RUU, dan sebagainya.
Perintah untuk mewujudkan Peradilan TUN untuk kali pertama dituangkan dalam
Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Kemudian perintah itu ditegaskan kembali
dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang dituangkan dalam pasal 10 ayat (1) jo. Pasal 12. Selanjutnya
perintah ini diperkuat dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978, yang menyatakan
“Mengusahakan terwujudnya Peradilan TUN”. Di samping itu, Presiden Soeharto
dalam pidato kenegaraannya di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 16
Agustus 1978 menegaskan bahwa : “akan diusahakan terbentuknya pengadilan
administrasi, yang dapat menampung dan menyelesaikan perkara-perkara yang
berhubungan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat atau aparatur
Negara, maupun untuk memberikan kepastian hukum untuk setiap pegawai negeri”.
Selanjutnya
untuk merealisasikan kehadiran Peradilan TUN maka ditetapkan Ketetapan MPR
Nomor II/MPR/1982 tentang GBHN. Selanjutnya dalam Ketetapan MPR Nomor
II/MPR/1983 tentang GBHN untuk Pelita IV, yang merupakan kelanjutan dari Pelita
III, memeng tidak disebutkan secara jelas tantang perwujudan Peradilan TUN.
Namun karena rencana pembangunan merupakan rencana yang berkesinambungan maka
sudah sepantasnya untuk tetap mengupayakan Peradilan TUN. Seiring dengan itu
pada tanggal 16 April 1986 pemerintah melalui Surat Presiden Nomor
R.04/PU/IV/1986 mengajukan kembali RUU Peradilan Administrasi ke DPR. Rancangan
tersebut merupakan penyempurnaan dari RUU Peradilan Administrsi 1982.
Akhirnya pada
tanggal 20 Desmber 1986, DPR secara aklamasi
menerima Rancangan Undang Undang tentang Peradilan TUN menjadi UU. UU tersebut
adalah UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN yang diundangkan pada tanggal
29 Desember 1986 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344. Dengan demikian
terwujudlah sudah badan atau wadah tunggal yang bebas dari pengaruh dan tekanan
siapapun, yang diserahi tugas dan kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa TUN. Setelah itu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 1991 dinyatakan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU No. 5 Tahun
1986 mulai berlaku. Kemudian pada tanggal 29 Maret 2004 disahkan UU No. 9 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.
Secara singkat sejarah PTUN di Indonesia bisa
diklasifikasikan menjadi beberapa tahap, yakni:
Masa
Kemerdekaan
|
Masa UUD 1945
Masa Konstitusi RIS 1949
Masa UUD Sementara 1950
Masa kembali ke UUD 1945 (Juli 1959)
Masa Pasca Amandemen UUD 1945
|
Masa UUD
1945 (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949)
|
Kekuasaan kehakiman diatur dlm UUD 1945_Bab IX (Pasal
24 dan 25)
UU No. 19 Tahun 1948 ttg Susunan dan Kekuasaan
Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan.
Pasal 66 dan 67 Peradilan Tata Usaha Pemerintah:
- Perkara TUP diperiksa dan diputus PT (Tk.1) dan MA (Tk.2) jika tidak
ditentukan lain o/ UU.
- Badan Peradilan Tata Usaha Pemerintahan berada dlm pengawasan MA.
|
Masa
Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950)
|
Peradilan diatur dlm Konstitusi RIS (Bab IV ttg “Pemerintahan” di bawah
Bagian III dan Peradilan Administrasi ditetapkan dlm pasal 161 dan 162 jo
pasal 2 RO.
Pasal
161 Hakim biasa atau alat-alat
perlengkapan lain dgn syarat jaminan yg serupa ttg keadilan dan kebenaran
berhak memutus sengketa hukum tata usaha.
Pasal
162 Cara memutus sengketa tata usaha
dpt diatur dlm UU federal.
|
UUD Sementara 1950 ( 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)
|
Bagian III UUDS (pasal 101 – 108) mengatur ttg pengadilan.
Pasal 101 ayat 1: Bhw hak mengadili atas perkara
(pidana sipil dan militer) sematamata dilakukan oleh pengadilan yg diadakan
dan diakui atas kuasa UU.
Pasal 108: Sengketa tata usaha yg diserahkan kpd
hakim biasa atau alat-alat perlengkapan negara lain dgn syarat berupa jaminan
yg serupa ttg keadilan dan kebenaran.
|
Kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959 sampai sekarang)
|
Pada tahun 1964 diterbitkan UU Nomor 19 Thn 1964 ttg
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yg bercorak “peradilan
terpimpin”.
Dalam Pasal 19: “Demi kepentingan revolusi,
kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat mendesak Presiden
dpt turun tangan atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”.
Diterbitkan pula UU Nomor 13 Thn 1965 ttg Peradilan
dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung.
|
Awal
Berlakunya UU 5/1986
|
Meskipun UU 5/1986 mulai berlaku sejak tanggal
pengundangan (19 Desember 1986) namun penerapannya secara efektif 5 tahun
kemudian (1991).
Melalui PP 7 Thn 1991 ttg Penerapan UU 5/1986 ttg
PTUN tertanggal 14 Januari 1991.
Penanganan perkara TUN dlm masa tsb diselesaikan oleh
berbagai macam lembaga yg masing-masing mempunyai batas-batas kompetensi
tertentu dgn pemeriksaan yg berbeda pula.
|
Masa Pasca
Amandemen UUD 1945
|
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana diatur dlm UU 5 Thn 1986
dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut UUD 1945.
Pada 29 Maret 2004 diterbitkan UU 9 Thn 2004 ttg Perubahan Atas UU 5
Thn 1986 tentang PTUN (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 35).
|
Tujuan
Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
Philipus M.
Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum dimana rakyat diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yangyang preventif bertujuan untuk
mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang
represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang
preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada
kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yangyang
didasarkan pada diskresi. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan
pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah:
defenitif, artinya perlindungan hukum preventif pemerintah terdorong untuk
bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan
- Memberikan
perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak
individu.
- Memberikan
perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan
bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh
melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi
dan melalaui peradilan. Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum yang diberikan
merupakan qonditio sine qua non dalam menegakan hukum. Penegakan hukum
merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan fungsi hukum itu
sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah:
- Direktif,
sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak
dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara;
- Integratif,
sebagai pembina kesatuan bangsa;
- Stabilitatif,
sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan
dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
- Perfektif,
sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun
sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat;
- Korektif,
sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga
apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.
No comments:
Post a Comment