REHABILITASI DAN GANTI RUGI
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
“HUKUM ACARA PIDANA”
Disusun
oleh :
Asrori
Ibnu Ridlo 1212007
Dosen
Pembimbing :
H
Ilham Tohari, M.Hi.
AGAMA ISLAM UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI
DARUL ULUM JOMBANG
2013
PEMBAHASAN
A.
Ganti Kerugian (Pasal
95 dan 96 KUHAP)
Yang dimaksud dengan ganti kerugian
adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa
imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
(pasal 1 butir ke-22 KUHAP).
Ganti kerugian
terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya memiliki
perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih
sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti
kerugian yang akan dibahas adalah ganti
kerugian dalam hukum pidana.
Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum
perdata lebih luas daripada ganti kerugian dalam hukum pidana, karena ganti
kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum
kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi. Dalam hukum perdata ganti
kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah minimum dan
maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian immaterial. Kerugian materil
yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang, kerugian kekayaan yang biasanya
berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita dan sudah nyata-nyata ia
derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil atau kerugian moril, yaitu
kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang pasti.
Sedangkan ganti
kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti
kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena
perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.
Dalam ganti
kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan
permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah
tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan
ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas
perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti
kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus
perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa
mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan.
Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka
waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di
dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka
ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Apabila
permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun
penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita
mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1)
KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan
permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya
mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,.
Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang
dilakukan secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah
menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan
tersebut.
Jika
terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam
jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap.
Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus
menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah
ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu
menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada
prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya
karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan
ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang
pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah
ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.
Ganti kerugian merupakan hal baru yang
diatur dalam hukum acara pidana Indonesia, meskipun sebenarnya jauh sebelum
KUHAP diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 pasal 9 ayat (1) telah mengaturnya:
“Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.” Kemudian
ketentuan ini diubah dengan pasal 9 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004.
Berkenaan dengan masalah ganti kerugian
tersebut di atas maka dalam pelaksanaannya akan timbul permasalahan sebagai
berikut :
1.
Kepada siapa tuntutan ganti kerugian ditujukan dan dibebankan; oleh karena yang
melakukan tindakan adalah aparat negara maka sudah sepatutnya apabila tuntutan
tersebut diajukan kepada negara/pemerintah.
2.
Berapa jumlah imbalan uangnya; pasal 9 PP No. 27 Tahun 1983 menentukan jumlah
ganti kerugian minimum Rp 5.000,- dan maksimum Rp 1.000.000,- dalam hal
tindakan aparat sehingga menyebabkan yang bersangkutan mengalami sakit atau
cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya atau mati maka besarnya
imbalan uang, maksimum adalah Rp 3.000.000,- jo Keputusan Menkeu tgl. 31
Desember 1983 No. 983/KMK.01/1983.
3.
Kapan batas waktu mengajukan tuntutan ganti kerugian; KUHAP tidak mengatur hal
tersebut, tetapi diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983 yaitu 3 bulan dan sejak
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal tindakan keliru
dari aparat penegak hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal 95 KUHAP. Serta 3
bulan dan sejak saat pemberitahuan penetapan Praperadilan, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 77 KUHAP.
Bentuk-Bentuk
Ganti Kerugian
1.
Tunggal, tuntutan ganti kerugian dalam penghentian penyidikan atau penuntutan
yang dibarengi dengan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, didalamnya
hanya tergantung satu tuntutan ganti kerugian. Karena semua tindakan yang
dilakukan aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan perkara merupakan satu
kesatuan proses penegakan hukum yang tak terpisahkan.
2.
Alternatif, tuntutan ganti kerugian ini dibuat pemohon agar tuntutan itu
mencakup semua alasan sesuai dengan jumlah tindakan yang dikenakan aparat
penegak hukum kepadanya. Misalnya dalam hal penghentian penyidikan atau
penuntutan dibarengi dengan penangkapan, penahanan atau tindakan lain yang
tidak berdasarkan undang-undang, di samping tuntutan ganti kerugian atas alasan
penangkapan atau penahanan sebagai tuntutan primair, pemohon dapat lagi
mengajukan tuntutan alternatif berupa tuntutan subsidair atas alasan penghentian
penyidikan atau penuntutan.
3.
Kumulatif, terhadap kasus penghentian penyidikan atau pentuntutan yang
dibarengi dengan penangkapan atau penahan atau tindakan lain yang tidak
berdasarkan undang-undang, dapat diajukan tuntutan ganti kerugian secara
kumulatif. Terhadap semua tindakan yang dikenakan kepada tersangka atau
terdakwa dapat diajukan tuntutan ganti kerugian dengan jalan menggabungkan dan
menjumlahkan ganti kerugian atas masing-masing tindakan yang tidak sah tersebut.
Putusan yang diberikan pengadilan sehubungan dengan gugatan ganti kerugian
berbentuk penetapan (pasal 96 ayat 1 KUHAP).
B.
Rehabilitasi (Pasal
97 KUHAP)
Yang dimaksud dengan Rehabilitasi
menurut pasal 1 butir ke-23 KUHAP adalah “hak seseorang untuk mendapat
pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang
diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap,
ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Tujuan rehabilitasi adalah sebagai
sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat
seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa
penangkapan, penahanan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Padahal tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan
yang sah menurut undang-undang.
Lembaga yang berwenang memberikan
rehabilitasi adalah pengadilan baik melalui proses persidangan biasa maupun
melalui proses persidangan praperadilan. Putusan pemberian rehabilitasi
diberikan kepada terdakwa apabila ia oleh pengadilan diputus bebas (vrijspraak)
atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) apabila
perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 97 ayat 1 KUHAP). Sedang
yang melalui proses praperadilan ialah apabila perkaranya tidak dilimpahkan ke
pengadilan, (pasal 97 ayat 3 jo pasal 77 KUHAP). Rehabilitasi dapat diajukan
oleh tersangka, terdakwa, ahli warisnya (keluarganya) maupun kuasanya.
Permintaan rehabilitasi atas penangkapan
atau penahanan yang tidak sah diajukan kepada pengadilan yang berwenang
selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan
atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.
Apabila pengadilan menjatuhkan putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau apabila permohonan pemohon
dalam praperadilan dikabulkan pengadilan, maka dalam amar putusan harus
dicantumkan pemberian rehabilitasi yang berbunyi “memulihkan hak
terdakwa/pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”. Jadi
bagi terdakwa yang diadili dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, tidak perlu mengajukan permohonan rehabilitasi karena pemberian
rehabilitasi tersebut dengan sendirinya harus diberikan oleh pengadilan yang
memutus dan sekaligus mencantumkan dalam amar putusannya.
C.
Penggabungan
Perkara Gugatan Ganti Kerugian.
Hal ini diatur dalam pasal 98 sampai
dengan pasal 101 KUHAP. Pasal 98 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa “ Jika suatu
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana
oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua
sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara
gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”. Ganti kerugian yang dimaksud
pada gabungan perkara gugatan ganti kerugian, bukan tuntutan ganti kerugian
akibat penangkapan, penahanan, penuntutan atau peradilan yang tidak berdasar
undang-undang. Akan tetapi merupakan tuntutan ganti kerugian :
·
yang
ditimbulkan tindak pidana itu sendiri;
·
tuntutan
ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana kepada si pelaku tindak pidana
yaitu terdakwa, dan
·
tuntutan
ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa digabung dan diperiksa serta diputus
sekaligus bersamaan dengan pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang
didakwakan kepada terdakwa.
Maksud
dan tujuan dari penggabungan perkara ini adalah :
·
untuk
menyederhanakan proses pemeriksaan dan pengajuan gugatan ganti kerugian itu
sendiri, sehingga dapat dicapai makna yang terkandung dalam asas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan;
·
agar
sesegera mungkin orang yang dirugikan mendapat ganti kerugian tanpa melalui
proses gugat perdata biasa. Serta tidak diharuskan lebih dulu menunggu putusan
pidana baru mengajukan gugatan ganti kerugian melalui gugatan perkara perdata
biasa. Dengan demikian penggabungan gugatan ganti kerugian merupakan jalan
pintas yang dapat dimanfaatkan orang yang dirugikan untuk secepat mungkin
mendapat pembayaran ganti kerugian.
Ketentuan
penggabungan perkara ini merupakan hal baru dalam sistem hukum pidana
Indonesia, meskipun dalam praktek di lapangan hal ini masih terhitung jarang
dilakukan oleh para pencari keadilan yang dalam hal ini “korban tindak pidana”
dalam mempergunakan upaya/lembaga ini. Lembaga ini dalam prakteknya memang
masih jauh dari pencapaian rasa keadilan masyarakat khususnya korban tindak
pidana. Anggapan adanya ketidakadilan tersebut dikarenakan pemenuhan ganti
kerugian yang hanya didasarkan pada biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak
yang dirugikan, dengan kata lain ganti kerugian yang pemenuhannya dapat
digabungkan dengan perkara pidana yang bersangkutan adalah dalam hal pemenuhan
biaya materiil yaitu penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban,
sedang biaya inmateriil harus dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata
biasa.
PEMBAHASAN
A.
Ganti
Kerugian (Pasal 95 dan 96 KUHAP)
Yang dimaksud dengan
ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya
yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini (pasal 1 butir ke-22 KUHAP).
Ganti kerugian
terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya memiliki
perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih
sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti
kerugian yang akan dibahas adalah
ganti kerugian dalam hukum pidana.
Ruang lingkup ganti
kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti kerugian dalam hukum
pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada Pasal 1365
Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke dalam
keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi.
Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak
ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian
immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang,
kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita
dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil
atau kerugian moril, yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang
pasti.
Sedangkan ganti
kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti
kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena
perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.
Dalam ganti
kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan
permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah
tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan
ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas
perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti
kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus
perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa
mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan.
Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka
waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur
di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan
maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Apabila
permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun
penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita
mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1)
KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan
permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya
mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,.
Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang
dilakukan secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah
menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan
tersebut.
Jika terdakwa bebas,
tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu
maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap. Dalam jangka
waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus menentukan
hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah ganti
kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu
menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada
prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya
karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan
ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang
pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah
ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.
Ganti kerugian
merupakan hal baru yang diatur dalam hukum acara pidana Indonesia, meskipun
sebenarnya jauh sebelum KUHAP diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 pasal 9 ayat (1)
telah mengaturnya: “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili
tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan
rehabilitasi.” Kemudian ketentuan ini diubah dengan pasal 9 ayat (1) UU No. 4
Tahun 2004.
Berkenaan dengan
masalah ganti kerugian tersebut di atas maka dalam pelaksanaannya akan timbul
permasalahan sebagai berikut :
1. Kepada siapa tuntutan ganti kerugian
ditujukan dan dibebankan; oleh karena yang melakukan tindakan adalah aparat
negara maka sudah sepatutnya apabila tuntutan tersebut diajukan kepada
negara/pemerintah.
2. Berapa jumlah imbalan uangnya; pasal
9 PP No. 27 Tahun 1983 menentukan jumlah ganti kerugian minimum Rp 5.000,- dan
maksimum Rp 1.000.000,- dalam hal tindakan aparat sehingga menyebabkan yang
bersangkutan mengalami sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan
pekerjaannya atau mati maka besarnya imbalan uang, maksimum adalah Rp
3.000.000,- jo Keputusan Menkeu tgl. 31 Desember 1983 No. 983/KMK.01/1983.
3. Kapan batas waktu mengajukan tuntutan
ganti kerugian; KUHAP tidak mengatur hal tersebut, tetapi diatur dalam PP No.
27 Tahun 1983 yaitu 3 bulan dan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap dalam hal tindakan keliru dari aparat penegak hukum sebagaimana
disebutkan dalam pasal 95 KUHAP. Serta 3 bulan dan sejak saat pemberitahuan
penetapan Praperadilan, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 77 KUHAP.
Bentuk-Bentuk
Ganti Kerugian
1. Tunggal, tuntutan ganti kerugian
dalam penghentian penyidikan atau penuntutan yang dibarengi dengan penangkapan
atau penahanan yang tidak sah, didalamnya hanya tergantung satu tuntutan ganti
kerugian. Karena semua tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam
proses pemeriksaan perkara merupakan satu kesatuan proses penegakan hukum yang
tak terpisahkan.
2. Alternatif, tuntutan ganti kerugian
ini dibuat pemohon agar tuntutan itu mencakup semua alasan sesuai dengan jumlah
tindakan yang dikenakan aparat penegak hukum kepadanya. Misalnya dalam hal
penghentian penyidikan atau penuntutan dibarengi dengan penangkapan, penahanan
atau tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, di samping tuntutan
ganti kerugian atas alasan penangkapan atau penahanan sebagai tuntutan primair,
pemohon dapat lagi mengajukan tuntutan alternatif berupa tuntutan subsidair
atas alasan penghentian penyidikan atau penuntutan.
3. Kumulatif, terhadap kasus penghentian
penyidikan atau pentuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahan atau
tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, dapat diajukan tuntutan
ganti kerugian secara kumulatif. Terhadap semua tindakan yang dikenakan kepada
tersangka atau terdakwa dapat diajukan tuntutan ganti kerugian dengan jalan
menggabungkan dan menjumlahkan ganti kerugian atas masing-masing tindakan yang
tidak sah tersebut. Putusan yang diberikan pengadilan sehubungan dengan gugatan
ganti kerugian berbentuk penetapan (pasal 96 ayat 1 KUHAP).
B.
Rehabilitasi
(Pasal 97 KUHAP)
Yang dimaksud dengan
Rehabilitasi menurut pasal 1 butir ke-23 KUHAP adalah “hak seseorang untuk
mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan
karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.”
Tujuan rehabilitasi
adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan
dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum
baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan. Padahal tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan
tanpa alasan yang sah menurut undang-undang.
Lembaga yang berwenang
memberikan rehabilitasi adalah pengadilan baik melalui proses persidangan biasa
maupun melalui proses persidangan praperadilan. Putusan pemberian rehabilitasi
diberikan kepada terdakwa apabila ia oleh pengadilan diputus bebas (vrijspraak)
atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) apabila
perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 97 ayat 1 KUHAP). Sedang
yang melalui proses praperadilan ialah apabila perkaranya tidak dilimpahkan ke
pengadilan, (pasal 97 ayat 3 jo pasal 77 KUHAP). Rehabilitasi dapat diajukan
oleh tersangka, terdakwa, ahli warisnya (keluarganya) maupun kuasanya.
Permintaan rehabilitasi
atas penangkapan atau penahanan yang tidak sah diajukan kepada pengadilan yang
berwenang selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan mengenai sah tidaknya
penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.
Apabila pengadilan
menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau apabila
permohonan pemohon dalam praperadilan dikabulkan pengadilan, maka dalam amar
putusan harus dicantumkan pemberian rehabilitasi yang berbunyi “memulihkan hak
terdakwa/pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”. Jadi
bagi terdakwa yang diadili dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, tidak perlu mengajukan permohonan rehabilitasi karena pemberian
rehabilitasi tersebut dengan sendirinya harus diberikan oleh pengadilan yang
memutus dan sekaligus mencantumkan dalam amar putusannya.
C.
Penggabungan
Perkara Gugatan Ganti Kerugian.
Hal ini diatur dalam
pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP. Pasal 98 ayat (1) KUHAP menyebutkan
bahwa “ Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi
orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan
untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”.
Ganti kerugian yang dimaksud pada gabungan perkara gugatan ganti kerugian,
bukan tuntutan ganti kerugian akibat penangkapan, penahanan, penuntutan atau
peradilan yang tidak berdasar undang-undang. Akan tetapi merupakan tuntutan
ganti kerugian :
·
yang ditimbulkan tindak pidana itu
sendiri;
·
tuntutan ganti kerugian yang diakibatkan
tindak pidana kepada si pelaku tindak pidana yaitu terdakwa, dan
·
tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada
terdakwa digabung dan diperiksa serta diputus sekaligus bersamaan dengan
pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang didakwakan kepada terdakwa.
Maksud dan tujuan dari penggabungan
perkara ini adalah :
·
untuk menyederhanakan proses pemeriksaan
dan pengajuan gugatan ganti kerugian itu sendiri, sehingga dapat dicapai makna
yang terkandung dalam asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan;
·
agar sesegera mungkin orang yang
dirugikan mendapat ganti kerugian tanpa melalui proses gugat perdata biasa.
Serta tidak diharuskan lebih dulu menunggu putusan pidana baru mengajukan
gugatan ganti kerugian melalui gugatan perkara perdata biasa. Dengan demikian
penggabungan gugatan ganti kerugian merupakan jalan pintas yang dapat
dimanfaatkan orang yang dirugikan untuk secepat mungkin mendapat pembayaran
ganti kerugian.
Ketentuan penggabungan perkara ini
merupakan hal baru dalam sistem hukum pidana Indonesia, meskipun dalam praktek
di lapangan hal ini masih terhitung jarang dilakukan oleh para pencari keadilan
yang dalam hal ini “korban tindak pidana” dalam mempergunakan upaya/lembaga
ini. Lembaga ini dalam prakteknya memang masih jauh dari pencapaian rasa
keadilan masyarakat khususnya korban tindak pidana. Anggapan adanya
ketidakadilan tersebut dikarenakan pemenuhan ganti kerugian yang hanya
didasarkan pada biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan, dengan
kata lain ganti kerugian yang pemenuhannya dapat digabungkan dengan perkara
pidana yang bersangkutan adalah dalam hal pemenuhan biaya materiil yaitu
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban, sedang biaya inmateriil
harus dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata biasa.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Kuffal, H.M.A, Penerapan KUHAP Dalam
Praktik Hukum, UMM Press, 2003.
·
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, 1983.
·
Sutadi, Marianna, Tanggung Jawab Perdata
Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah Agung, RI, 1992.
·
Yahya, Harahap, M, Pembahasan
Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, 2002
No comments:
Post a Comment