PERKAWINAN PRIA MUSLIM DENGAN WANITA NON MUSLIM
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
“MANAJEMEN
ADMINISTRASI PENGADILAN AGAMA”
Disusun
oleh :
Asrori
Ibnu Ridlo 1212007
Dosen
Pembimbing :
Drs.
Safruddin
JURUSAN AHWAL ASY-SYAKHSIYAH FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM
JOMBANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
PERNIKAHAN (PERKAWINAN)
Secara etimologi,pernikahan berarti Persetubuhan ada pula
yang meartikan “perjanjian”(al-aqlu). Secara etimologi pernikahan menurut
Abu Hanifah adalah: Aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari
seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja. Menurut mazhab
Maliki,Pernikahan adalah:Aqad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari
wanita. Menurut mazhab Syafi’i pernikahan adalah :Aqad yang menjamin
diperbolehkan persetubuhan ” Sedang Menurut mazhab Hambali adalah:”Aqad yang di
dalamnya terdapat lafaz pernikahan secara jelas agar diperbolehkan
bercampur. Kalau kita perhatikan keempat definisi tersebut jelas,bahwa
yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah aqad (perjanjian)yaitu serah
terima antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai
pria.Penyerahan dan penerimaan tanggung jawab dalam arti luas,telah terjadi
pada saat aqad nikah itu, disamping penghalalan bercampur keduanya sebagai
suami isteri.
B. TUJUAN PERKAWINAN
Sedikitnya ada empat macam yang tujuan perkawinan.Keempat
macam tujuan perkawinan itu hendaknya benar-benar dapat dipahami oleh calon
suami atau isteri,supaya terhindar dari keretan dalam rumah tangga yang
biasanya berakhir dengan perceraianyang sangat dibenci oleh Allah.
1. Menentramkan Jiwa
2. Mewujudkan (Melestarikan)Turunan
3. Memenuhi Kebutuhan Biologis
4. Latihan Memiliki Tanggung Jawab
Keempat faktor yang terpenting (menentramkan
jiwa,melestarikan turunan,memenuhi kebutuhan biologis dan latihan bertanggung
jawab),dari tujuan perkawinan perlu mendapat perhatian dan direnungkan matang-
matang ,agar kelangsungan hidup berumah tangga dapat berjalan sebagaimana yang
diharapkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERKAWINAN PRIA MUSLIM DENGAN WANITA BUKAN AHLI KITAB
Perkawinan
pria muslim dengan wanita bukan ahli kitab,terbagi kepada:
1. Perkawinan denagan wanita musyrik
Agama Islam tidak memperkenankan pria muslim kawin dengan
wanita musyrik,sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik,sebelum
mereka beriman.sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik,walaupun dia menarik hatimu(al Baqarah: 221)
Nash diatas dengan
jelas melarang mengawini wanita musyrik.Demikian juga pendapat para ulama
menegaskan demikian.
2. Perkawinan Dengan Wanita Majusi
Pria muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita
majusi(penyembah api),sebab mereka tidak termasuk ahli kitab.Demikian pendapat
Jumhur Ulama,dan yang dimaksud dengan ahli kitab adalah yahudi dan nashara.
Sedangkan golongan Zhahariyah memperbolehkan pria muslim
kawin drngan wanita majusi karena orang-orang majusi dimasukkan kedalam
kelompok ahli kitab.yang dianggap paling tepat adalah pendapat Jumhur
Ulama,yaitu pria muslim tidak diperbolehkan kawin dengan wanita majusi,sebab
mereka tidak termasuk ahli kitab,sebagaimana ditegaskan dalam fiirman Allah QS
al-An’aam:156 yang artinya:
(Kami turunkan Al-quran itu)agar
kamu(tidak)menyatakan:Bahwa Kitab itu hanya diturunkan kepada dua
golongan(Yahudi dan Nasrani) saja sebelum kami dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan
apa yang mereka baca.
Sekiranya orang-orang majusi dianggap sebagai ahli
kitab,makadalam ayat tersebut seharusnya disebut tiga golongan bukan dua
golangan.
3. Perkawinan dengan Wanita Shabi’ah
Shabi’ah
adalah satu golongan dalam agama Nasrani,Shabi’ah dinisbatkan kepada Shab paman
Nabi Nuh as.ada pula yang berpendapat dinamakan Shabi’ah karena berpindah dari
satu agama kepada agama yang lain.
Ibnul Hamman mengatakan,bahwa orang-orang Shabi’ahadalah
golongan yang memadukan antara agama yahudi dan Nasrani.Mereka menyembah
bintang-bintang,dalam berbagai buku hadis disebutkan,bahwa mereka termasuk
golongan ahli kitab.
Menurut riwayat Umar,bahwa mereka adalah orang-orang yang
sangat mengagungkan hari Sabtu.Sedangkan Mujahidmenganggap,mereka berada
diantara agama yahudi dan Nasrani.
Imam Syafi’i mengambil jalan tengah,yaitu apabila mereka
lebih mendekati keyakinan mereka kepada salah satu agama(Yahudi atau
Nasrani),Maka orang tersebut termasuk
Para ulama ber beda pendapat yang mengatakan termasuk
ahli kitab dan ada pula yang mengatakan tidak.Demikian pula maka hukum
perkawinan dengan wanita shabi’ahjuga berbeda pendapat.Abu Hanifah berpendapat
boleh kawin dengan wanita shabi’ah.sedang Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan
asy Syaibani tidak membolehkannya,karena mereka menyembah patung-patung dan
bintang-bintang.Pendapat Maliki juga sejalan dengan pendapat iniMazhab Syafii dan
mazhab Hambali membuat garis pembatas dalam maslah ini,jika mereka
menyerupai orang-orang yahudi atau nasrani dalam prinsip-prinsip agamanya,maka
wanita shabi’ah itu boleh dikawini.Tetapi bila berbeda dalam hal-hal prinsip
berarti mereka tidak termasuk golongan yahudi atau nasrani dan berarti pula
bahwa wanita shabi’ah itu tidak boleh dikawini oleh pria muslim.
4. Perkawinan dengan Wanita Penyembah Berhala
Para ulama telah sepakat bahwa pria muslim tidak boleh
kawindengan wanit a penyem bah berhala,dan penyembah benda –benda lainya,karena
mereka termasuk orang-orang kafir,sebagaimana firman Allah :
Artinya:Dan
janganlah kamu berpegang pada tali(perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir...(al-Muntahanah:10)
Pada
ayat lain Allah berfirman:
Artinya: Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka
beriman(al-Baraqarah:221)
B. PERKAWINAN PRIA MUSLIM DENGAN WANITA AHLI KITAB
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum
perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab.
1.
Menurut
pendapat Jumhur Ulama Baik Hanafi,Maliki,Syafi’i maupun
Hambali,seorang pria muslim diperbolehkan kawin dengan
wanita ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) negara Islam(ahli
Dzimmah)
2.
Golongan
Syi’ah Imamiah dan syi’ah Zaidiyah berpendapat,bahwa pria muslim tidak
boleh kawin dengan wanita ahli kitab.
Golonagn pertama (Jumhr Ulama) mendasrkan pendapat mereka
kepada beberapa dalil Firman Allah dalam surah al-maidah ayat 5 yang
artinya:Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik.Makanan(sembelihan)orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal
bagimu,dan makanankamu halal pula bagi mereka (dan dihalalkan
mengawini)wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara Jaga kehormatan
diantara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.
Golongan kedua (Syi’ah)melandaskan pendapatnya pada
beberapa dalil, Firman Allah:
Artinya:Dan
jangan lah kamu nikahi wanits-wanita musyrik,sebelim mereka
beriman...(al-Baqarah:221)
Firman
Allah:
Artinya:Dan
janganlah kamu berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir,(al-Muntahanah:10)
Kalau kita perhatikan pendapat Syi’ah (Imamiyah dan
Zaidiyah) maka mereka menganggap bahwa ahli kitab itu musyrik.Akan tetapi
didalam Al-quran sendiri dinyatakan bahwa ahli kitab dan musyik itu tidak
sama,sebagaimana firman Allah:
Artinya:Sesungguhnya
oramg-orang kafir,yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik(akan masuk)keneraka
jahanam ,mereka kekal didalamnya.Mereka itu adalah seburuk-buruk
makhluk(al-Bayinah:6)
Dalam ayat diatas cukup jelas,bahwa ahli kitab dan
musyrik itu berbeda.Kemudian dikalangan Jumhur Ulama membolehkan kawin dengan
ahli kitab,juga berbeda pendapat
a.
Sebagian
mazhab Hanafi,Maliki,Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa perkawinan itu
makruh.
b.
Menurut
pendapat sebagian mazhab Maliki,Ibnul Qosim,Khalil bahwa perkawinan itu
diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat Malik.
c.
Az-Zarkasyi(mazhab
Syafi’i)mengatakan bahwa pernikahan itu disunatkan apabila wanita ahli kitab
itu diharapkan dapat masuk Islam,Sebagai contohnya adalah perkawinan Usman bin
Affan dengan Nailah,sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini.sebagian mazhab
Syafi’i pun ada yang berpendapat demikian.
Kendatipun Jumhur Ulama membolehkan kawin dengan
wanita-wanita ahli kitab,akan tetapi perlu direnungkan lebih mendalam tentang
dampak negatip dari perkawinan itu.Tujuan berumah tangga (perkawinan) itu
adalah untuk memperoleh ketentraman dan ketenangan jiwa serta mendapatkan
turunan yang baik-baik(saleh).Apakah mungkin ketenangan jiwa diperoleh dalam suatu
rumah tangga yang berlainan akidahdan apakah mungkin mendidik anak-anak yang
saleh dalam satu keluarrga yang beragam keyakinan?
Yang lebih aman adalah menghindar dari
persoalan-persoalan yang banyak mengandung teka-teki dan memilih jalan yang
sudah jelas arahnya,yaitu kawin dengan sesama muslim.Dengan demikian resiko
yang dihadapi lebih kecil dalam membina rumah tangga .Dalam agama Islam ada
suatu prinsip,yaitu suatu tindakan preventip(pencegahan) Ibaratnya menjaga
kesehatan lebih utama atau lebih baik daripada mengobatinya setelah dibiarkan
sakit terlebih dahulu.Membenarkan kawin dengan wanita non muslim berarti
mengundang penyakit,yaitu penyakitkufur(murtad)memghindari kawin dengan mereka
berarti telah mengadakan tindakan preventif.Kaidah fiqh mengatakan: Menghindar
dari kemudaratan harus didahulukan atasmencari/menarik maslahat (kebaikan)
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum
Islam,pasal 40 ayat (c),dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
beragama Islam dengan wanita yang tidak beragama Islam.Sebaliknya pasal 44
disebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang wanita yang
beragama Islam dengan pria yang bukan beragama Islam.Apa yang telah ditetapkan
dalam Kompilasi hukum Islam itu telah tepat dan keputusan yang amat bijaksana
bagi bangsa kita yang mayoritas memeluk agama Islam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Hukum perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli
kitab menurut pendapat Jumhur Ulama diperbolehkan asalkan berada didalam
kekuasaan negara islam
2. Menurut Golongan Syi’ah dan Zaidiyah tidak membolehkan
perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab karena mereka
disamakan dengan wanita –wanita musyik atau wanita yang tidak beriman kepada
aAllah
3. problem yang mungkin akan dihadapi seandainya laki-laki
muslim kawin dengan wanita ahli kitab adalah tidak adanya ketentraman dan
ketenangan jiwa serta tidak akan mendapatkan keturunan yang saleh karna tidak
mungkin anak yang saleh terdidikdari orang tua yang berlainan agama
DAFTAR PUSTAKA
Abd,Mua’al
M.al-Jabri,Perkawinan antar Agama Tinjauan Islam,(terjemahan)Risalah Gusti
Surabaya,cet,ke-2 1994
Departemen
Agama,Al-Quran dan terjemahannya,Surabaya Mahkota Tahun 1989
Masail
Fiqhiyah Al-haditsah pada masalah-masalah kontemporer Hukum Islam M.Ali Hasan.