Tuesday, July 22, 2014

Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam

TUJUAN HUKUM
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
“FILSAFAT HUKUM ISLAM”




Disusun oleh :
Asrori Ibnu Ridlo 1212007

Dosen Pembimbing :
H Ilham Tohari, M.Hi.

 JURUSAN AHWAL ASY-SYAKHSIYAH FAKULTAS 
AGAMA ISLAM UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI 
                                          DARUL ULUM JOMBANG                                                    
2012



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan hukum Islam adalam memberikan pedoman hidup kepada manusia agar dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Maka muncul pertanyaan “Dari mana kita mengetahui tujuan tersebut?”. Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah ta’ala dengan bekal untuk hidup yaitu fitrah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam yang artinya :
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi”. HR Bukhari
Fitrah dalam hal ini adalah Islam, yaitu fitrah yang telah Allah tetapkan kepada setiap manusia. Agar fitrah ini selalu terjaga maka manusia diberikan daya dan potensi yaitu berupa : Aql, Syahwah dan Ghadlab. Daya ‘Aql berfungsi mengetahui (ma’rifat) Allah dan mengesakannya. Daya syahwat berfungsi untuk menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan member manfaat bagi manusia. Daya ghadlab berfungsi untuk mempertahankan diri dan memelihara kelanggengan hidup yang menyenangkan.


B.     Rumusan Masalah

  • Bagaimana dan apa tujuan dari hukum islam?


BAB II
PEMBAHASAN

            Secara global, tujuan syara’ dalam menciptakan hokum-hukum islam adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan didunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak. Firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 159 yang berbunyi:






Artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya[1].”
Demikian juga dalam surah Al Baqarah ayat 201-202 yang berbunyi:


Artinya:
“Dan di antara mereka ada orang yang bendo'a: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka (201). Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya[2].
            Demikian tujuan syara; secara global. Akan tetapi apabila kita perinci, maka tujuan syara’ dalam menetapkan hokum-hukumnya ada lima, yaitu:

a)      Memelihara kemaslahatan agama
Agama adalah suatu yang harus dimiliki oleh manusia supaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari makhluq lain, dan juga untuk memenuhi hajat jiwanya. Agama islam merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan di dalam alqur’an, surah Al maidah ayat 3:



Artinya:
” Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa [398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena agamalah yang dapat menyentuh nurani manusia. Agama islam harus terpelihara daripada ancaman orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang hendak merusak akidahnya, ibadah dan akhlaqnya. Atau orang yang akan mencampuradukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan aliran yang batil[3].
Pengamalan agama islam secara utuh dan menyeluruh, baik yang berhubungan dengan Allah maupun yang berhubungan dengan sekalian manusia dan makhluq lainya, sebagaimana petunjuk Rasulullah adalah merupakan rahmad-Nya yang patut disyukuri.

b)     Memelihara jiwa
Untuk tujuan ini, islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman qisas (pembalasan yang seimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, berpikir sekian kali, karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika orang yang dibunuh itu tidak mati tetapi hanya cidera, maka si pelakunya juga akan cidera pula[4].
Firman Allah surah Al Baqarah ayat 178-179 yang berbunyi:



Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih (178). Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa[5].”

c)      Memelihara akal
Manusia adalah makhluq Allah SWT. Ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluq lain. Pertama Allah telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik, dibandingkan dengan makhluq-makhluq lain.
Akan tetapi bentuk yang indah itu tidak ada gunanya, kalau tidak ada hal yang kedua, yaitu akal. Oleh karena itu Allah memerintahkan kita untuk mengunakan kita dengan sebaik-baiknya. Surah  : Al-An'am Ayat : 32



Artinya:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka . Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya[6]?”

d)     Memelihara keturunan
Untuk ini islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang yang labir dari hubungan itu dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya[7].


Artinya:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)[8].”

e)      Memelihara harta benda dan keturunan
Meskipun pada hakekatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tamak kepada harta benda, sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun, maka islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk ini islam mensyari’atkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual-beli, sewa menyewa, gadai menggadai dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya[9].



Artinya:
” Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahu[10]i.”



BAB III
KESIMPULAN

            Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan syara’ dalam menciptakan hokum-hukum islam adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan didunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak,
Akan tetapi apabila kita perinci, maka tujuan syara’ dalam menetapkan hokum-hukumnya ada lima, yaitu:
Menjaga agama, Menjaga jiwa, Menjaga akal, Menjaga keturunan dan Menjaga harta benda.




DAFTAR PUSTAKA





[1] http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/3/159
[2] http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/2/201-202
[3] Prof. Dr. H. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara). Hal 67-68
[4] Ibid, hal 70
[5] http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/2/178-179
[6] http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/6/32
[7] Prof. Dr. H. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara). Hal 97
[8] http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/4/20
[9] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang) hal192
[10] http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/2/180

No comments:

Post a Comment