Tuesday, July 29, 2014

MAKALAH REHABILITASI DAN GANTI RUGI




REHABILITASI DAN GANTI RUGI
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
HUKUM ACARA PIDANA









Disusun oleh :
Asrori Ibnu Ridlo                  1212007

Dosen Pembimbing :
H Ilham Tohari, M.Hi.


                       JURUSAN AHWAL ASY-SYAKHSIYAH FAKULTAS 
       AGAMA  ISLAM UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI 
                                  DARUL ULUM JOMBANG                                        
2013

PEMBAHASAN


A.    Ganti Kerugian (Pasal 95 dan 96 KUHAP)
Yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (pasal 1 butir ke-22 KUHAP).
Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian yang akan dibahas adalah ganti kerugian dalam hukum pidana.
Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang, kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil atau kerugian moril, yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang pasti.
Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.
Dalam ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Apabila permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,. Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan tersebut.
Jika terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap. Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.
Ganti kerugian merupakan hal baru yang diatur dalam hukum acara pidana Indonesia, meskipun sebenarnya jauh sebelum KUHAP diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 pasal 9 ayat (1) telah mengaturnya: “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.” Kemudian ketentuan ini diubah dengan pasal 9 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004.
Berkenaan dengan masalah ganti kerugian tersebut di atas maka dalam pelaksanaannya akan timbul permasalahan sebagai berikut :
1. Kepada siapa tuntutan ganti kerugian ditujukan dan dibebankan; oleh karena yang melakukan tindakan adalah aparat negara maka sudah sepatutnya apabila tuntutan tersebut diajukan kepada negara/pemerintah.
2. Berapa jumlah imbalan uangnya; pasal 9 PP No. 27 Tahun 1983 menentukan jumlah ganti kerugian minimum Rp 5.000,- dan maksimum Rp 1.000.000,- dalam hal tindakan aparat sehingga menyebabkan yang bersangkutan mengalami sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya atau mati maka besarnya imbalan uang, maksimum adalah Rp 3.000.000,- jo Keputusan Menkeu tgl. 31 Desember 1983 No. 983/KMK.01/1983.
3. Kapan batas waktu mengajukan tuntutan ganti kerugian; KUHAP tidak mengatur hal tersebut, tetapi diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983 yaitu 3 bulan dan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal tindakan keliru dari aparat penegak hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal 95 KUHAP. Serta 3 bulan dan sejak saat pemberitahuan penetapan Praperadilan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 77 KUHAP.
Bentuk-Bentuk Ganti Kerugian
1. Tunggal, tuntutan ganti kerugian dalam penghentian penyidikan atau penuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, didalamnya hanya tergantung satu tuntutan ganti kerugian. Karena semua tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan perkara merupakan satu kesatuan proses penegakan hukum yang tak terpisahkan.
2. Alternatif, tuntutan ganti kerugian ini dibuat pemohon agar tuntutan itu mencakup semua alasan sesuai dengan jumlah tindakan yang dikenakan aparat penegak hukum kepadanya. Misalnya dalam hal penghentian penyidikan atau penuntutan dibarengi dengan penangkapan, penahanan atau tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, di samping tuntutan ganti kerugian atas alasan penangkapan atau penahanan sebagai tuntutan primair, pemohon dapat lagi mengajukan tuntutan alternatif berupa tuntutan subsidair atas alasan penghentian penyidikan atau penuntutan.
3. Kumulatif, terhadap kasus penghentian penyidikan atau pentuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahan atau tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, dapat diajukan tuntutan ganti kerugian secara kumulatif. Terhadap semua tindakan yang dikenakan kepada tersangka atau terdakwa dapat diajukan tuntutan ganti kerugian dengan jalan menggabungkan dan menjumlahkan ganti kerugian atas masing-masing tindakan yang tidak sah tersebut. Putusan yang diberikan pengadilan sehubungan dengan gugatan ganti kerugian berbentuk penetapan (pasal 96 ayat 1 KUHAP).
B.     Rehabilitasi (Pasal 97 KUHAP)
Yang dimaksud dengan Rehabilitasi menurut pasal 1 butir ke-23 KUHAP adalah “hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut undang-undang.
Lembaga yang berwenang memberikan rehabilitasi adalah pengadilan baik melalui proses persidangan biasa maupun melalui proses persidangan praperadilan. Putusan pemberian rehabilitasi diberikan kepada terdakwa apabila ia oleh pengadilan diputus bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) apabila perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 97 ayat 1 KUHAP). Sedang yang melalui proses praperadilan ialah apabila perkaranya tidak dilimpahkan ke pengadilan, (pasal 97 ayat 3 jo pasal 77 KUHAP). Rehabilitasi dapat diajukan oleh tersangka, terdakwa, ahli warisnya (keluarganya) maupun kuasanya.
Permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan yang tidak sah diajukan kepada pengadilan yang berwenang selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.
Apabila pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau apabila permohonan pemohon dalam praperadilan dikabulkan pengadilan, maka dalam amar putusan harus dicantumkan pemberian rehabilitasi yang berbunyi “memulihkan hak terdakwa/pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”. Jadi bagi terdakwa yang diadili dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tidak perlu mengajukan permohonan rehabilitasi karena pemberian rehabilitasi tersebut dengan sendirinya harus diberikan oleh pengadilan yang memutus dan sekaligus mencantumkan dalam amar putusannya.
C.    Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian.
Hal ini diatur dalam pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP. Pasal 98 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa “ Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”. Ganti kerugian yang dimaksud pada gabungan perkara gugatan ganti kerugian, bukan tuntutan ganti kerugian akibat penangkapan, penahanan, penuntutan atau peradilan yang tidak berdasar undang-undang. Akan tetapi merupakan tuntutan ganti kerugian :
·         yang ditimbulkan tindak pidana itu sendiri;
·         tuntutan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana kepada si pelaku tindak pidana yaitu terdakwa, dan
·         tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa digabung dan diperiksa serta diputus sekaligus bersamaan dengan pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang didakwakan kepada terdakwa.
Maksud dan tujuan dari penggabungan perkara ini adalah :
·         untuk menyederhanakan proses pemeriksaan dan pengajuan gugatan ganti kerugian itu sendiri, sehingga dapat dicapai makna yang terkandung dalam asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan;
·         agar sesegera mungkin orang yang dirugikan mendapat ganti kerugian tanpa melalui proses gugat perdata biasa. Serta tidak diharuskan lebih dulu menunggu putusan pidana baru mengajukan gugatan ganti kerugian melalui gugatan perkara perdata biasa. Dengan demikian penggabungan gugatan ganti kerugian merupakan jalan pintas yang dapat dimanfaatkan orang yang dirugikan untuk secepat mungkin mendapat pembayaran ganti kerugian.
Ketentuan penggabungan perkara ini merupakan hal baru dalam sistem hukum pidana Indonesia, meskipun dalam praktek di lapangan hal ini masih terhitung jarang dilakukan oleh para pencari keadilan yang dalam hal ini “korban tindak pidana” dalam mempergunakan upaya/lembaga ini. Lembaga ini dalam prakteknya memang masih jauh dari pencapaian rasa keadilan masyarakat khususnya korban tindak pidana. Anggapan adanya ketidakadilan tersebut dikarenakan pemenuhan ganti kerugian yang hanya didasarkan pada biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan, dengan kata lain ganti kerugian yang pemenuhannya dapat digabungkan dengan perkara pidana yang bersangkutan adalah dalam hal pemenuhan biaya materiil yaitu penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban, sedang biaya inmateriil harus dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata biasa.



PEMBAHASAN

A.    Ganti Kerugian (Pasal 95 dan 96 KUHAP)
Yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (pasal 1 butir ke-22 KUHAP).
Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian yang akan dibahas adalah ganti kerugian dalam hukum pidana.
Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang, kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil atau kerugian moril, yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang pasti.
Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.
Dalam ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Apabila permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,. Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan tersebut.
Jika terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap. Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.
Ganti kerugian merupakan hal baru yang diatur dalam hukum acara pidana Indonesia, meskipun sebenarnya jauh sebelum KUHAP diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 pasal 9 ayat (1) telah mengaturnya: “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.” Kemudian ketentuan ini diubah dengan pasal 9 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004.
Berkenaan dengan masalah ganti kerugian tersebut di atas maka dalam pelaksanaannya akan timbul permasalahan sebagai berikut :
1. Kepada siapa tuntutan ganti kerugian ditujukan dan dibebankan; oleh karena yang melakukan tindakan adalah aparat negara maka sudah sepatutnya apabila tuntutan tersebut diajukan kepada negara/pemerintah.
2. Berapa jumlah imbalan uangnya; pasal 9 PP No. 27 Tahun 1983 menentukan jumlah ganti kerugian minimum Rp 5.000,- dan maksimum Rp 1.000.000,- dalam hal tindakan aparat sehingga menyebabkan yang bersangkutan mengalami sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya atau mati maka besarnya imbalan uang, maksimum adalah Rp 3.000.000,- jo Keputusan Menkeu tgl. 31 Desember 1983 No. 983/KMK.01/1983.
3. Kapan batas waktu mengajukan tuntutan ganti kerugian; KUHAP tidak mengatur hal tersebut, tetapi diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983 yaitu 3 bulan dan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal tindakan keliru dari aparat penegak hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal 95 KUHAP. Serta 3 bulan dan sejak saat pemberitahuan penetapan Praperadilan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 77 KUHAP.
Bentuk-Bentuk Ganti Kerugian
1. Tunggal, tuntutan ganti kerugian dalam penghentian penyidikan atau penuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, didalamnya hanya tergantung satu tuntutan ganti kerugian. Karena semua tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan perkara merupakan satu kesatuan proses penegakan hukum yang tak terpisahkan.
2. Alternatif, tuntutan ganti kerugian ini dibuat pemohon agar tuntutan itu mencakup semua alasan sesuai dengan jumlah tindakan yang dikenakan aparat penegak hukum kepadanya. Misalnya dalam hal penghentian penyidikan atau penuntutan dibarengi dengan penangkapan, penahanan atau tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, di samping tuntutan ganti kerugian atas alasan penangkapan atau penahanan sebagai tuntutan primair, pemohon dapat lagi mengajukan tuntutan alternatif berupa tuntutan subsidair atas alasan penghentian penyidikan atau penuntutan.
3. Kumulatif, terhadap kasus penghentian penyidikan atau pentuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahan atau tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, dapat diajukan tuntutan ganti kerugian secara kumulatif. Terhadap semua tindakan yang dikenakan kepada tersangka atau terdakwa dapat diajukan tuntutan ganti kerugian dengan jalan menggabungkan dan menjumlahkan ganti kerugian atas masing-masing tindakan yang tidak sah tersebut. Putusan yang diberikan pengadilan sehubungan dengan gugatan ganti kerugian berbentuk penetapan (pasal 96 ayat 1 KUHAP).
B.     Rehabilitasi (Pasal 97 KUHAP)
Yang dimaksud dengan Rehabilitasi menurut pasal 1 butir ke-23 KUHAP adalah “hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut undang-undang.
Lembaga yang berwenang memberikan rehabilitasi adalah pengadilan baik melalui proses persidangan biasa maupun melalui proses persidangan praperadilan. Putusan pemberian rehabilitasi diberikan kepada terdakwa apabila ia oleh pengadilan diputus bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) apabila perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 97 ayat 1 KUHAP). Sedang yang melalui proses praperadilan ialah apabila perkaranya tidak dilimpahkan ke pengadilan, (pasal 97 ayat 3 jo pasal 77 KUHAP). Rehabilitasi dapat diajukan oleh tersangka, terdakwa, ahli warisnya (keluarganya) maupun kuasanya.
Permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan yang tidak sah diajukan kepada pengadilan yang berwenang selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.
Apabila pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau apabila permohonan pemohon dalam praperadilan dikabulkan pengadilan, maka dalam amar putusan harus dicantumkan pemberian rehabilitasi yang berbunyi “memulihkan hak terdakwa/pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”. Jadi bagi terdakwa yang diadili dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tidak perlu mengajukan permohonan rehabilitasi karena pemberian rehabilitasi tersebut dengan sendirinya harus diberikan oleh pengadilan yang memutus dan sekaligus mencantumkan dalam amar putusannya.
C.    Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian.
Hal ini diatur dalam pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP. Pasal 98 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa “ Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”. Ganti kerugian yang dimaksud pada gabungan perkara gugatan ganti kerugian, bukan tuntutan ganti kerugian akibat penangkapan, penahanan, penuntutan atau peradilan yang tidak berdasar undang-undang. Akan tetapi merupakan tuntutan ganti kerugian :
·         yang ditimbulkan tindak pidana itu sendiri;
·         tuntutan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana kepada si pelaku tindak pidana yaitu terdakwa, dan
·         tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa digabung dan diperiksa serta diputus sekaligus bersamaan dengan pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang didakwakan kepada terdakwa.
Maksud dan tujuan dari penggabungan perkara ini adalah :
·         untuk menyederhanakan proses pemeriksaan dan pengajuan gugatan ganti kerugian itu sendiri, sehingga dapat dicapai makna yang terkandung dalam asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan;
·         agar sesegera mungkin orang yang dirugikan mendapat ganti kerugian tanpa melalui proses gugat perdata biasa. Serta tidak diharuskan lebih dulu menunggu putusan pidana baru mengajukan gugatan ganti kerugian melalui gugatan perkara perdata biasa. Dengan demikian penggabungan gugatan ganti kerugian merupakan jalan pintas yang dapat dimanfaatkan orang yang dirugikan untuk secepat mungkin mendapat pembayaran ganti kerugian.
Ketentuan penggabungan perkara ini merupakan hal baru dalam sistem hukum pidana Indonesia, meskipun dalam praktek di lapangan hal ini masih terhitung jarang dilakukan oleh para pencari keadilan yang dalam hal ini “korban tindak pidana” dalam mempergunakan upaya/lembaga ini. Lembaga ini dalam prakteknya memang masih jauh dari pencapaian rasa keadilan masyarakat khususnya korban tindak pidana. Anggapan adanya ketidakadilan tersebut dikarenakan pemenuhan ganti kerugian yang hanya didasarkan pada biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan, dengan kata lain ganti kerugian yang pemenuhannya dapat digabungkan dengan perkara pidana yang bersangkutan adalah dalam hal pemenuhan biaya materiil yaitu penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban, sedang biaya inmateriil harus dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata biasa.



DAFTAR PUSTAKA
·         Kuffal, H.M.A, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, 2003.
·         Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, 1983.
·         Sutadi, Marianna, Tanggung Jawab Perdata Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah Agung, RI, 1992.
·         Yahya, Harahap, M, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, 2002

 

No comments:

Post a Comment