Tuesday, July 29, 2014

MAKALAH Kompilasi Hukum Islam

ISBAT NIKAH MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERKAWINAN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
“KOMPILASI HUKUM ISLAM”









Disusun oleh :
Abdul Jabbar Taufiqi          1212012
Asrori Ibnu Ridlo                  1212007
Fanani                                               

Dosen Pembimbing :
Agus Mahfudin. M.Si

JURUSAN AHWAL ASY-SYAKHSIYAH  FAKULTAS
AGAMA ISLAM UNIVERSITAS PESANTREN
TINGGI DARUL ULUM JOMBANG                                                                       
2013



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Meskipun ulama Indonesia pada umumnya menyatakan setuju atas ketentuan pencatatan perkawinan sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun pada kenyataannya masyarakat muslim Indonesia masih ada yang menanggapi pencatatan perkawinan dengan mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu menjadi tidak sah dari segi agama. Efek domino dari penolakan secara diam-diam ini, melahirkan budaya hukum (meminjam istilah Lawrence Friedman: legal culture) orang Islam Indonesia melakukan kawin di bawah tangan tanpa memperdulikan akibatnya di kemudian hari.
Dalam konteks ini, Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, membagi ketentuan yang mengatur tentang pernikahan dalam 2 (dua) kategori, yaitu: 1) peraturan syara’, dan 2) peraturan tawsiq, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar pernikahan di kalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Pengembangan dari teori tersebut, kategori pertama disebut juga dengan nau’ syar’iyah yaitu yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, sedangkan kategori kedua disebut juga dengan nau’ tautsiqiyah yaitu yang berkaitan dengan ketentuan pencatatan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Di lain segi, kepastian hukum sebagai salah satu dari tiga asas penegakan hukum yaitu 1) asas kepastian hukum, 2) asas keadilan, 3) asas manfaat, merupakan dimensi normative. Dalam dimensi normative, kepastian hukum menjelma sebagai suatu peraturan yang diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Kepastian hukum dari perkawinan yang diitsbatkan inilah yang menjadi bahasan utama dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana isbat nikah menurut Undang Undang Perkawinan 1974?
2.      Bagaimana isbat nikah menurut Kompilasi Hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
Itsbat nikah berasal dari bahasa Arab yang terdiri isbat dan nikah. Itsbat berasal dari bahasa arab berarti penetapan, pengukuhan, pengiyaan. Itsbat nikah sebenarnya sudah menjadi istilah dalam Bahasa Indonesia dengan sedikit revisi yaitu dengan sebutan isbat nikah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah. Itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan).
Status perkawinan dalam hal ini diartikan dengan keadaan dan kedudukan perkawinan yang telah dilangsungkan. Dalam aspek ini sebenarnya undang-undang telah memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah. Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Berdasarakan ketentuan Pasal 2 Ayat 1 UUP dan penjelasannya ini, dapat diketahui bahwa patokan untuk mengetahui suatu perkawinan sah adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UUP. 
Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan akan menimbulkan kemaslahatan umum karena dengan pencatatan ini akan memberikan kepastian hukum terkait dengan hak-hak suami/isteri, kemaslahatan anak maupun efek lain dari perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan atau di hadapan  Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama akan mendapatkan Akta Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah perkawinan.
Akta Nikah merupakan akta autentik karena Akta Nikah tersebut dibuat oleh dan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat yang berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan, dibuat sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan dibuat di tempat Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama tersebut melaksanakan tugasnya. Meskipun, Peraturan Perundang-Undangan sudah mengharuskan adanya Akta Nikah sebagai bukti perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang telah menikah tidak mempunyai Kutipan Akta Nikah. Kemungkinan yang jadi penyebab tidak adanya Kutipan Akta Nikah disebabkan oleh beberapa faktor seperti; (a) kelalaian pihak suami isteri atau pihak keluarga yang melangsungkan pernikahan tanpa melalui prosedur yang telah ditentukan pemerintah. Hal ini kelihatan semata-mata karena ketidaktahuan mereka mereka terhadap peraturan dan  ketentuan yang ada (buta hukum); (b) Besarnya biaya yang dibutuhkan bila mengikuti prosedur resmi tersebut; (c) Karena kelalaian petugas Pegawai Pecatat Nikah/wakil seperti dalam memeriksa surat-surat/persyaratan-persyaratan nikah atau  berkas-berkas yang ada hilang; (d) Pernikahan yang dilakukan sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan (e) Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya persetujuan dari isteri sebelumnya. 
Kompilasi Hukum Islam juga memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah dan ketentuan untuk tertibnya perkawinan. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam memberikan penegasan bahwa  “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU no 1 tahun1974 tentang perkawinan. Pasal 5 KHI merumuskan: (1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat; (2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946
Itsbat nikah yang dilaksanak oleh Pengadilan Agama karena pertimbangan mashlahah bagi umat Islam. Itsbat nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami istri.
Dalam hubungannya dengan hal di atas, dewasa ini permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama dengan berbagai alasan, pada umumnya perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengadilan Agama selama ini menerima, memeriksa dan memberikan penetapan permohonan itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun. Namun oleh karena itsbat nikah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka hakim Pengadilan Agama melakukan “ijtihad” dengan menyimpangi tersebut, kemudian mengabulkan permohonan itsbat nikah berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam. Apabila perkawinan yang dimohonkan untuk diitsbatkan itu tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Pengadilan Agama akan mengabulkan permohonan itsbat nikah meskipun perkawinan itu dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.  Oleh karena itu, penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama tersebut, tidak lebih hanya sebagai kebijakan untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur tentang itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 
Peraturan syara’ adalah peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan Syari’at Islam seperti yang telah dirumuskan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang pada intinya adalah kemestian adanya ijab dan kabul dari masing-masing dua orang yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang sama, dengan menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadinya ijab dan kabul yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah baligh berakal lagi beragama Islam, di mana dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab kabul tersebut. Dua orang saksi tersebut mengerti tentang isi ijab dan kabul itu serta syarat-syarat lainnya seperti yang telah dibentangkan dalam kajian fiqih, dan tidak terdapat larangan hukum syara’. 
Peraturan tersebut di atas merupakan unsur-unsur pembentuk akad nikah. Apabila unsur-unsur pembentuknya seperti diatur dalam Syari’at Islam telah secara sempurna terpenuhi, maka menurutnya akad nikah itu secara syar’i telah dianggap sah, sehingga halal bergaul sebagaimana layaknya suami istri yang sah dan anak dari hubungan suami istri itu sudah dianggap sebagai anak yang sah.
Perkembangan pemikiran tentang dasar perintah pencatatan nikah, setidaknya ada dua alasan, yaitu qiyas danmaslahah mursalah. 
a. Qiyas
1). Diqiyaskan kepada pencatatan kegiatan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan agar dicacat. Firman Allah QS. al-Baqarah ayat 282:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ...... 
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... . 
2). Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
3). Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. 
b. Maslahah Mursalah. 
Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak dianjurkan oleh syari’at dan juga tidak dilarang oleh syari’at, semata-mata hadir atas dasar kebutuhan masyarakat. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam. Dalam hal ini, itsbat nikah dipandang sebagai suatu kemaslahatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. 
2. Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Anak
Sesuai dengan pembahasan sebelumnya bahwa itsbat nikah hanya dimungkinkan bagi perkawinan yang tidak ada bukti dicatatkan oleh lembaga berwenang yang memenuhi peraturan syara’, tentunya itsbat nikah yang dilaksanakan akan memberikan kepastian hukum terhadap status anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. dalam hal ini, kepastian hukum tentang status anak di antaranya dapat dilihat dari peraturan berikut ini:
a.       Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu: "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah"; 
b.      Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42, yaitu : "Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah"; 
c.       Pasal 2 ayat (1), yaitu : "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu"; 
d.      Pasal 2 ayat (2), yaitu :"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku "
e.       Pasal 99 KHI, Anak yang sah adalah:
1.      anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
2.      hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. 
Dilihat dari alasan pengajuan itsbat nikah, alasan utama para pemohon mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama adalah dalam rangka mengurusan Akta Kelahiran anak-anak mereka di samping untuk mendapatkan kepastian hukum perkawinan para pemohon itu sendiri. Ini berarti para orang tua (ayah-ibu) ingin memperjelas status anak-anak mereka yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat atau tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan. Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat/dicatatkan, pada Akta Kelahiran yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil hanya akan mencantumkan nama ibunya sama dengan Akta Kelahiran anak-anak yang lahir di luar nikah.
Itsbat nikah oleh Pengadilan Agama oleh para pemohon digunakan sebagai alas hukum untuk mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan, dan Kantor Urusan Agama Kecamatan akan mengeluarkan Buku Kutipan Akta Nikah sebagai bukti otentik bahwa suatu perkawinan telah tercatat, untuk selanjutnya Buku Kutipan Akta Nikah itu akan digunakan oleh yang bersangkutan untuk mengurus Akta Kelahiran Anak pada Kantor Catatan Sipil yang mewilayahinya dengan dilampiri penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama. 
Pengadilan Agama dengan itsbat nikah mempunyai andil dan kontribusi yang sangat besar dan penting dalam upaya memberikan rasa keadilan dan kepastian serta perlindungan hukum bagi masyarakat. Mereka yang selama ini tidak memiliki Kartu Keluarga karena tidak mempunyai Buku Nikah, setelah adanya penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama mereka akan mudah mengurus Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran anak-anaka mereka sehingga sudah tidak kesulitan untuk masuk sekolah. Bahkan, calon jamaah haji yang tidak mempunyai Buku Nikah sangat terbantu dengan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama untuk mengurus paspor. 
Ketentuan pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam (Pasal 5 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam) dan untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, di samping sebagai bukti otentik adanya perkawinan. Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah atau negara untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak sosial setiap warga negara, khususnya pasangan suami istri, serta anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. 
Akibat hukum terhadap anak-anak yang dilahirkannya dari perkawinan yang telah memenuhi peraturan syara’ tidak dapat dinyatakan sebagai anak zina yang identik dengan anak di luar perkawinan, melainkan sebagai anak yang sah dengan segala konsekwensi hukumnya, seperti akibat pekawinan tidak tercatat itu menyebabkan anak-anak yang dilahirkan nasabnya dihubungkan kepada kedua orang tuanya itu, demikian pula hak dan kewajiban orang tua terhadap anak-anak seharusnya berjalan sebagai mana mestinya, di antara mereka dapat saling mewarisi satu dengan yang lainnya dan apabila anak yang dilahirkan itu perempuan, maka ayahnya berhak menjadi wali anak perempuannya berlaku secara natural (alamiah) saja. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kepastian hukum harus dilakukan itsbat nikah di pengadilan Agama.

3. Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Harta Perkawinan
Sejalan dengan kepastian hukum itsbat nikah terhadap status perkawinan, status anak, maka itsbat nikah juga akan memberikan kepastian hukum terhadap stutus harta perkawinan. Dengan adanya itsbat nikah, penyelesaian sengketa harta perkawinan dapat merujuk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti ketentuan Bab VII UU Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang harta benda dalam perkawinan. Pada pasal 35 disebutkan bahwa (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. 
Dalam pasal 36 dirumuskan bahwa: (1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak; (2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai hartanya. Apabila pasangan suami istri itu perkawinannya putus karena perceraian, maka masing-masing pihak akan mendapatkan separoh dari harta bersama (gono gini) yang mereka peroleh selama dalam ikatan perkawinan sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin (Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam).






ISBAT NIKAH MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERKAWINAN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
BAB II
PEMBAHASAN
Itsbat nikah berasal dari bahasa Arab yang terdiri isbat dan nikah. Itsbat berasal dari bahasa arab berarti penetapan, pengukuhan, pengiyaan. Itsbat nikah sebenarnya sudah menjadi istilah dalam Bahasa Indonesia dengan sedikit revisi yaitu dengan sebutan isbat nikah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah. Itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan).
Status perkawinan dalam hal ini diartikan dengan keadaan dan kedudukan perkawinan yang telah dilangsungkan. Dalam aspek ini sebenarnya undang-undang telah memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah. Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Berdasarakan ketentuan Pasal 2 Ayat 1 UUP dan penjelasannya ini, dapat diketahui bahwa patokan untuk mengetahui suatu perkawinan sah adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UUP. 
Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan akan menimbulkan kemaslahatan umum karena dengan pencatatan ini akan memberikan kepastian hukum terkait dengan hak-hak suami/isteri, kemaslahatan anak maupun efek lain dari perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan atau di hadapan  Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama akan mendapatkan Akta Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah perkawinan.
Akta Nikah merupakan akta autentik karena Akta Nikah tersebut dibuat oleh dan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat yang berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan, dibuat sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan dibuat di tempat Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama tersebut melaksanakan tugasnya. Meskipun, Peraturan Perundang-Undangan sudah mengharuskan adanya Akta Nikah sebagai bukti perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang telah menikah tidak mempunyai Kutipan Akta Nikah. Kemungkinan yang jadi penyebab tidak adanya Kutipan Akta Nikah disebabkan oleh beberapa faktor seperti; (a) kelalaian pihak suami isteri atau pihak keluarga yang melangsungkan pernikahan tanpa melalui prosedur yang telah ditentukan pemerintah. Hal ini kelihatan semata-mata karena ketidaktahuan mereka mereka terhadap peraturan dan  ketentuan yang ada (buta hukum); (b) Besarnya biaya yang dibutuhkan bila mengikuti prosedur resmi tersebut; (c) Karena kelalaian petugas Pegawai Pecatat Nikah/wakil seperti dalam memeriksa surat-surat/persyaratan-persyaratan nikah atau  berkas-berkas yang ada hilang; (d) Pernikahan yang dilakukan sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan (e) Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya persetujuan dari isteri sebelumnya. 
Kompilasi Hukum Islam juga memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah dan ketentuan untuk tertibnya perkawinan. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam memberikan penegasan bahwa  “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU no 1 tahun1974 tentang perkawinan. Pasal 5 KHI merumuskan: (1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat; (2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946
Itsbat nikah yang dilaksanak oleh Pengadilan Agama karena pertimbangan mashlahah bagi umat Islam. Itsbat nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami istri.
Dalam hubungannya dengan hal di atas, dewasa ini permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama dengan berbagai alasan, pada umumnya perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengadilan Agama selama ini menerima, memeriksa dan memberikan penetapan permohonan itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun. Namun oleh karena itsbat nikah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka hakim Pengadilan Agama melakukan “ijtihad” dengan menyimpangi tersebut, kemudian mengabulkan permohonan itsbat nikah berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam. Apabila perkawinan yang dimohonkan untuk diitsbatkan itu tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Pengadilan Agama akan mengabulkan permohonan itsbat nikah meskipun perkawinan itu dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.  Oleh karena itu, penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama tersebut, tidak lebih hanya sebagai kebijakan untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur tentang itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 
Peraturan syara’ adalah peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan Syari’at Islam seperti yang telah dirumuskan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang pada intinya adalah kemestian adanya ijab dan kabul dari masing-masing dua orang yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang sama, dengan menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadinya ijab dan kabul yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah baligh berakal lagi beragama Islam, di mana dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab kabul tersebut. Dua orang saksi tersebut mengerti tentang isi ijab dan kabul itu serta syarat-syarat lainnya seperti yang telah dibentangkan dalam kajian fiqih, dan tidak terdapat larangan hukum syara’. 
Peraturan tersebut di atas merupakan unsur-unsur pembentuk akad nikah. Apabila unsur-unsur pembentuknya seperti diatur dalam Syari’at Islam telah secara sempurna terpenuhi, maka menurutnya akad nikah itu secara syar’i telah dianggap sah, sehingga halal bergaul sebagaimana layaknya suami istri yang sah dan anak dari hubungan suami istri itu sudah dianggap sebagai anak yang sah.
Perkembangan pemikiran tentang dasar perintah pencatatan nikah, setidaknya ada dua alasan, yaitu qiyas danmaslahah mursalah. 
a. Qiyas
1). Diqiyaskan kepada pencatatan kegiatan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan agar dicacat. Firman Allah QS. al-Baqarah ayat 282:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ...... 
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... . 
2). Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
3). Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. 
b. Maslahah Mursalah. 
Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak dianjurkan oleh syari’at dan juga tidak dilarang oleh syari’at, semata-mata hadir atas dasar kebutuhan masyarakat. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam. Dalam hal ini, itsbat nikah dipandang sebagai suatu kemaslahatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. 
2. Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Anak
Sesuai dengan pembahasan sebelumnya bahwa itsbat nikah hanya dimungkinkan bagi perkawinan yang tidak ada bukti dicatatkan oleh lembaga berwenang yang memenuhi peraturan syara’, tentunya itsbat nikah yang dilaksanakan akan memberikan kepastian hukum terhadap status anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. dalam hal ini, kepastian hukum tentang status anak di antaranya dapat dilihat dari peraturan berikut ini:
a.       Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu: "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah"; 
b.      Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42, yaitu : "Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah"; 
c.       Pasal 2 ayat (1), yaitu : "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu"; 
d.      Pasal 2 ayat (2), yaitu :"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku "
e.       Pasal 99 KHI, Anak yang sah adalah:
1.      anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
2.      hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. 
Dilihat dari alasan pengajuan itsbat nikah, alasan utama para pemohon mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama adalah dalam rangka mengurusan Akta Kelahiran anak-anak mereka di samping untuk mendapatkan kepastian hukum perkawinan para pemohon itu sendiri. Ini berarti para orang tua (ayah-ibu) ingin memperjelas status anak-anak mereka yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat atau tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan. Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat/dicatatkan, pada Akta Kelahiran yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil hanya akan mencantumkan nama ibunya sama dengan Akta Kelahiran anak-anak yang lahir di luar nikah.
Itsbat nikah oleh Pengadilan Agama oleh para pemohon digunakan sebagai alas hukum untuk mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan, dan Kantor Urusan Agama Kecamatan akan mengeluarkan Buku Kutipan Akta Nikah sebagai bukti otentik bahwa suatu perkawinan telah tercatat, untuk selanjutnya Buku Kutipan Akta Nikah itu akan digunakan oleh yang bersangkutan untuk mengurus Akta Kelahiran Anak pada Kantor Catatan Sipil yang mewilayahinya dengan dilampiri penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama. 
Pengadilan Agama dengan itsbat nikah mempunyai andil dan kontribusi yang sangat besar dan penting dalam upaya memberikan rasa keadilan dan kepastian serta perlindungan hukum bagi masyarakat. Mereka yang selama ini tidak memiliki Kartu Keluarga karena tidak mempunyai Buku Nikah, setelah adanya penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama mereka akan mudah mengurus Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran anak-anaka mereka sehingga sudah tidak kesulitan untuk masuk sekolah. Bahkan, calon jamaah haji yang tidak mempunyai Buku Nikah sangat terbantu dengan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama untuk mengurus paspor. 
Ketentuan pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam (Pasal 5 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam) dan untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, di samping sebagai bukti otentik adanya perkawinan. Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah atau negara untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak sosial setiap warga negara, khususnya pasangan suami istri, serta anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. 
Akibat hukum terhadap anak-anak yang dilahirkannya dari perkawinan yang telah memenuhi peraturan syara’ tidak dapat dinyatakan sebagai anak zina yang identik dengan anak di luar perkawinan, melainkan sebagai anak yang sah dengan segala konsekwensi hukumnya, seperti akibat pekawinan tidak tercatat itu menyebabkan anak-anak yang dilahirkan nasabnya dihubungkan kepada kedua orang tuanya itu, demikian pula hak dan kewajiban orang tua terhadap anak-anak seharusnya berjalan sebagai mana mestinya, di antara mereka dapat saling mewarisi satu dengan yang lainnya dan apabila anak yang dilahirkan itu perempuan, maka ayahnya berhak menjadi wali anak perempuannya berlaku secara natural (alamiah) saja. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kepastian hukum harus dilakukan itsbat nikah di pengadilan Agama.
3. Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Harta Perkawinan
Sejalan dengan kepastian hukum itsbat nikah terhadap status perkawinan, status anak, maka itsbat nikah juga akan memberikan kepastian hukum terhadap stutus harta perkawinan. Dengan adanya itsbat nikah, penyelesaian sengketa harta perkawinan dapat merujuk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti ketentuan Bab VII UU Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang harta benda dalam perkawinan. Pada pasal 35 disebutkan bahwa (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. 
Dalam pasal 36 dirumuskan bahwa: (1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak; (2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai hartanya. Apabila pasangan suami istri itu perkawinannya putus karena perceraian, maka masing-masing pihak akan mendapatkan separoh dari harta bersama (gono gini) yang mereka peroleh selama dalam ikatan perkawinan sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin (Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam).


BAB III
KESIMPULAN  
Itsbat nikah menurut peraturan perundang-undangan hanya dimungkinkan terhadap perkawinan yang memenuhi syarat syar’i baik pelaksanaannya sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Perkawinan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum adalah perkawinan yang sesuai peraturan syar’i dan peraturan tawtsiqiy. Dalam upaya adanya pertanggungjawaban perkawinan dimaksud, perkawinan yang sesuai dengan peraturan syar’i agar juga memenuhi syarat tausiqy, maka itsbat nikah merupakan hal yang mutlak demi tertibnya administrasi perkawinan di wilayah hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berimplikasi pada kepastian hukum terhadap status perkawinan, status anak, dan status harta perkawinan.




DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH, kepastian hukum (rechtszekerheid) ‘Itsbat Nikah’
            http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,38146-lang,id t,Kepastian+Hukum+%E2%80%9CItsbat+Nikah%E2%80%9D+Terhadap+Status+Perkawinan++Anak+dan+Harta+Perkawinan-.phpx


No comments:

Post a Comment