Wednesday, July 16, 2014

Mitos Sabdo Palon dan Noyo Genggong



Mitos Sabdo Palon dan Noyo Genggong : 
Ini Jawabannya !

Telah banyak bersliweran kabar, informasi, cerita legenda dan hikayat tentang keberadaan abdi dalem Kraton MAJAPAHIT (WILWATIKTA) yang bernama SABDO PALON dan NAYA GENGGONG. 


Dari yang bersifat sangat halus hingga yang berisi SUMPAH SERAPAH yang bersangkutan di era runtuhnya MAJAPAHIT. Belum lagi terbitnya saduran buku-buku baik berupa ajaran atau ramalan yang mengatas namakan dua abdi ini, tetapi semuanya tidak dapat menunjukkan rujukan asli dari sumber ceritanya.

Mengingat seringnya timbul pertanyaan mengenai hal ini di group dan forum WILWATIKTA (MAJAPAHIT), maka saya berinisiatif untuk menjelaskannya secara tertulis seperti ini agar bila pertanyaan yang sama muncul, rekan-rekan dapat mereferensi jawabannya dari catatan ini. 





Hal ini didasarkan pada pengalaman pribadi saya, baik ketika menerima ajaran adat maupun ketika saya berkunjung ke beberapa lokasi peninggalan WILWATIKTA / MAJAPAHIT (di Jawa Timur dan Jawa Tengah).

Sesungguhnya penokohan abdi dalem yang bernama SABDO PALON dan NOYO GENGGONG itu adalah nyata dan ada (bukan bersifat ghaib atau klenik).  

Akan tetapi masyarakat luas telah tercuci otaknya dengan pola berpikir mistis telah menganggap tokoh ini adalah sejenis mahluk ghaib berjenjang dewata dan mempunyai umur yang abadi.
Dan semuanya bertolak belakang dengan penjelasan apa yang saya terima selama ini, hal itu tidak lepas dari kebiasaan saya untuk mendebat (dalam batasan santun) kepada petunjuk leluhur yang saya anggap tidak bisa saya pahami lewat akal pikiran maupun hati nurani. Sehingga para leluhur yang memberi petunjuk berkenan menjelaskan secara lebih terinci guna memberi pemahaman akal dan nurani saya.

SABDO PALON dan NOYO GENGGONG belum dikenal dimasa pemerintahan raja pertama Majapahit SANG RAMA WIJAYA yang berabhiseka SRI KERTARAJASA JAYAWARDHANA maupun raja kedua DYAH JAYANEGARA yang berabhiseka SRI SUNDARA PANDYA DEWA ADHISWARA, di masa itu abdi dalem yang melekat pada keluarga raja adalah Sang SAPU ANGIN dan Sang SAPU JAGAD.

Dalam konteks ini nama sesungguhnya dari abdi raja tersebut bukanlah itu, gelar tersebut lebih dekat pada sifat perilaku sang abdi.  SAPU JAGAD berkonotasi SAPU = yang membersihkan / yang mengatasi dan JAGAD = masalah-masalah yang bersifat keduniawian, jadi Sang SAPU JAGAD adalah seorang abdi yang piawai dalam ilmu keduniawian dan kanuragan.

Sedangkan SAPU ANGIN berkonotasi SAPU = yang membersihkan / yang mengatasi dan ANGIN = masalah-masalah yang bersifat spiritual / kebathinan, jadi Sang SAPU ANGIN adalah seorang abdi yang piawai dalam hal keagamaan dan spiritual / kebathinan.

Begitu abdi ini menduduki jabatan tersebut, maka nama pribadinya akan ditinggalkan dan memakai gelar barunya sebagai SANG SAPU ANGIN dan SANG SAPU JAGAD. 





'Tanah Tinggi' Siti Hinggil artinya adalah dan merupakan tempat suci di mana dikatakan bahwa raja pertama Majapahit digunakan untuk beristirahat dan bermeditasi. Karena kedua dalam kehidupan dan dalam kematian raja-raja Jawa yang ditinggikan di atas hanya manusia, maka bisa dipastikan bahwa Anda menemukan sebuah makam di sini didedikasikan untuk raja, yang namanya Raden Wijaya (atau dengan judul lengkap nya: Raden Wijaya Kertajaya Jayawardhana). Dia memerintah dari 1293-1309 Masehi.


Bersama dengan Raja Wijaya kedua istrinya yang seharusnya dimakamkan di sini. Dan ada juga makam Eyang Sapu Jagad dan Kyai Sapu Angin. Roh-roh dari dua terakhir dihormati sebagai sipir dari Gunung Merapi yang memutuskan apakah dan kapan letusan akan terjadi. Terutama pada hari Jumat Legi rakyat penanggalan Jawa datang ke sini untuk berdoa dan diselamatkan dari bahaya.

Alamat: Kedungwulan dusun, Desa Bejijong, Trowulan kabupaten.
Arah: Di kantor Dinas Purbakala Jawa Timur (BP3) menyeberang jalan utama dan ikuti barat belokan. Melihat keluar untuk tanda kecil menunjuk ke kiri.

Hal ini dapat anda buktikan bila mengunjungi SITIHINGGIL MAJAPAHIT, di belakang posisi raja (SRI KERTARAJASA JAYAWARDHANA dan istri-istrinya) ada bangunan makam SANG SAPU ANGIN dan SANG SAPU JAGAD. 

Demikian pula lokasi Candi BAJANG RATU tempat abu jenazah SRI SUNDARAPANDYADEWA ADHISWARA (DYAH JAYANEGARA) di kompleks candi juga di temui model makam sejenis.

SABDO PALON dan NOYO GENGGONG secara eksplisit baru dikenal pada era pemerintahan raja ke-3 : Prabhu Stri / Rani DYAH TRIBHUWANA WIJAYATUNGGA DEWI MAHARAJASA yang berabhiseka SRI TRIBHUWANATUNGGADEWI MAHARAJASA JAYAWISNUWARDHANI.

Hal ini atas masukan dari Maha Rsi MAUDARA sebagai Mahapatih Dalam Pura, yang merubah karakter sebelumnya menjadi SABDO PALON dan NOYO GENGGONG.
Alasannya adalah ketika pemerintahan raja ke-2 banyak terjadi pemberontakan akibat adanya HASUTAN dan konspirasi dari orang-orang di dekat raja, sehingga diputuskan untuk membuat mekanisme steril dan memberi pendampingan berupa tokoh yang mampu memberikan pertimbangan obyektif  kepada raja.

Sedangkan masalah keamanan raja dan keluarganya diserahkan penuh kepada DHARMAPUTRA dan BHAYANGKARA (semacam paspampres dan pasukan khusus pelindung kotaraja / ibukota).

Sama dengan konsep SANG SAPU ANGIN dan SANG SAPU JAGAD, SABDO PALON dan NOYO GENGGONG bukanlah nama asli dari sang abdi tetapi gelar yang diberikan abdi sesuai karakter tugas yang diembannya. 
SABDO PALON berkonotasi SABDO = seseorang yang memberikan masukan / ajaran dan PALON = kebenaran yang bergema dalam ruang semesta, jadi SABDO PALON = Seseorang abdi yang berani menyuarakan kebenaran kepada raja dan berani menanggung akibatnya (di murkai raja dll).

NAYA GENGGONG berkonotasi NAYA = nayaka atau seseorang abdi raja dan GENGGONG = mengulang-ulang suara, jadi NAYA GENGGONG = Seseorang abdi yang berani mengingatkan raja secara berulang-ulang tentang kebenaran dan berani menanggung akibatnya (di murkai raja dll).  


SABDO PALON bereaksi sebagai abdi yang memberikan pertimbangan sebelum raja mengambil tindakan, sedangkan NAYA GENGGONG adalah abdi yang memberikan teguran apabila raja melakukan kekeliruan dalam berperilaku.

Yang luar biasa dari konsep ini adalah SABDO PALON dan NAYA GENGGONG diambil dari abdi yang BUTA HURUF tetapi mempunyai pemahaman yang mendalam atas tugasnya sebagai pihak yang jadi pertimbangan raja.

Alasannya : dengan kondisinya yang buta huruf, akan memperkecil pengaruh dari pihak luar dalam penyampaian pertimbangan ke raja, juga menjadi pertimbangan spiritual bagi raja ..... bahwa ada seseorang biasa (bukan bangsawan) dan buta huruf ptla yang berani menegur raja ..... dan teguran itu membawa suara KEBENARAN, jelas abdi ini adalah mahluk yang mendapat pencerahan dari Tuhan (kata hati sang raja). Maka unsur tertiggi dari dua abdi ini adalah kejujuran, keluguan dan pemahaman yang mendalam atas HUKUM KEBENARAN SEMESTA.  Itulah kepangkatan abdi dalem yang terdekat dengan Raja WILWATIKTA (Majapahit) : SABDO PALON dan NAYA GENGGONG.

SABDO PALON dan NAYA GENGGONG yang pertama kali ada adalah di era kepemimpinan SRI TRIBHUWANATUNGGADEWI MAHARAJASA JAYAWISNUWARDHANI. 

No comments:

Post a Comment