Thursday, July 24, 2014

MAKALAH Defenisi dan Dasar Hukum Usaha Bersama (Syirkah) dalam Islam

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Menurut pandangan umum manusia disebut sebagai makhluk social yang mana berarti bahwa setiap manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup tanpa bantuan dari orang lain sehingga dibutuhkan suatu tindakan interaksi dengan manusia yang lain dalam bentuk hubungan timbal balik sehingga suatu bentuk kehidupan akan berjalan dengan baik.
Sedangkan menurut pandangan islam, hubungan antar sesama makhluk disebut hablum minan naas, oleh karena membutuhkan bantuan orang lain maka dibutuhkan suatu tindakan yang disebut muammalah, karena muammalah terbagi menjadi beberapa macam, maka makalah ini menghususkan pada bab syirkah atau perkongsian, dikarenakan banyak sekali praktek perkongsian disekitar kita sehingga perlu untuk dipelajari.

B.     Rumusan masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan syirkah atau perkongsian itu?
2.      Apa sajakah macam-macam dari syirkah atau perkongsian itu?

3.      Bagaimana ketetapan hukum syirkah atau perkongsian itu?

PEMBAHASAN

A.    Defenisi dan Dasar Hukum Usaha Bersama (Syirkah) dalam Islam
Syirkah dari segi bahasa adalah (al ikhtilath) yaitu penggabungan dua harta atau lebih menjadi satu bagian utuh. Sedang menurut Istilah syari’, makna syirkah  adalah hak kepemilikan suatu hal (yaitu kerjasama dalam usaha atau sekedar kepemilikan suatu benda) oleh dua orang atau lebih sesuai prosentase tertentu.
Hukum melakukan syirkah adalah mubah, dengan dalil dari Alquran dan As sunnah serta Ijma’
Dasar dari Alqur’an adalah Firman Allah Ta’ala : {فهم شركاء في الثلث} [النساء:12/4] “maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu”.
Adapun dasar dari Sunnah Dalam syirkah ada  keberkahan dari Allah Ta’ala dalam bentuk perlindungan dan kemudahan dalam menjalankan usaha selama tidak terjadi penghianatan.
ففي الحديث القدسي فيما يروى عن أبي هريرة رفعه إلى النبي صلّى الله عليه وسلم قال: إن الله عز وجل يقول: «أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه، فإذا خانه خرجت من بينهما» رواه أبو داود
Dalam hadit qudsi , sebagaimana yang diriwayatkan oleh abu huroiroh dari Rasulullah Shalallhu alaihi wasalam bersabda: sesungguhnya Allah azza wajala berkata : "Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada peseronya. Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi)”.

B.     Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun Syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
3. Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl).
Menurut ulama Hanafiah, rukun syirkah hanya ijab dan qabul atau serah terima. Sedangkan orang yang berakad dan obyek akad bukan termasuk rukun, tapi syarat. Dan menurut jumhur ulama, rukun syirkah meliputi shighat (lafaz) ijab dan qabul, kedua orang yang berakad, dan obyek akad.
Syarat Syirkah merupakan perkara penting yang harus ada sebelum dilaksanakan syirkah. Jika syarat tidak terwujud, maka akad syirkah itu batal.
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
1. Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
2. Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha).

C.    Macam-Macam Syirkah
Syirkah Al-Amlak (perserikatan dalam pemilikan)
Syirkah Al-‘Uqud (perserikatan berdasarkan suatu akad)
1.      Syirkah Al-Amlak
Menurut Sayyid Sabiq, syirkah al-amlak adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa didahului aqad, baik bersifat ikhtiari atau jabari. Syirkah al-amlak terbagi dua :
a.       Ikhtiari (perserikatan yang dilandasi pilihan orang yang berserikat), yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua orang sepakat membeli suatu barang, atau mereka menerima harta hibah secara berserikat. Maka barang atau harta tersebut menjadi harta serikat bagi mereka berdua.
b.      Jabari (perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat), seperti harta warisan, menjadi milik bersama orang-orang yang berhak menerima warisan.
Status harta dalam syirkah al-amlak adalah sesuai hak masing-masing, bersifat mandiri secara hukum. Jika masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-amlak dibahas secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah dan wakaf.


.      Syirkah Al-‘Uqud
Akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Syirkah al-‘uqud terbagi lima:
a.       Syirkah al-‘inan (شركة العنان), yaitu perserikatan dalam modal (harta) antara dua orang atau lebih, yang tidak harus sama jumlahnya. Keuntungan dan kerugian dibagi dua sesuai prosentase yang telah disepakati. Sedangkan kerugian menjadi tanggung jawab orang-orang yang berserikat sesuai dengan prosentase penyertaan modal/saham masing-masing. Para ulama sepakat, hukumnya boleh.
b.      Syirkah Abdan/A’mal, perserikatan yang dilakukan oleh dua pihak untuk menerima suatu pekerjaan, seperti kerjasama seprofesi antara dua orang arsitek atau tukang kayu dan pandai besi untuk menggarap sebuah proyek. Hasil atau imbalan yang diterima dibagi bersama sesuai kesepakatan. Menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah hukumnya boleh. Ulama Malikiyah mengajukan syarat, yaitu bahwa kerja yang dilakukan harus sejenis, satu tempat, serta hasil yang diperoleh dibagi menurut kuantitas kerja masing-masing. Menurut ulama Syafi’iyah, Syi’ah Imamiyah, perserikatan seperti ini hukumnya tidak sah, karena yang menjadi obyek perserikatan adalah harta/modal, bukan kerja, disamping pula, kerja seperti ini tidak dapat diukur, sehingga dapat menimbulkan penipuan yang membawa kepada perselisihan.
c.       Syirkah al-Mudharabah, persetujuan antara pemilik modal dengan pengelola untuk mengelola uang dalam bentuk usaha tertentu, keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan bersama, sedangkan kerugian menjadi tanggungan pemilik modal saja.
d.      Syirkah Wujuh, serikat yang dilakukan dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali, dan mereka melakukan suatu pembelian dengan kredit serta menjualnya dengan harga tunai; sedangkan keuntungannya dibagi bersama. Mirip seperti kerja makelar barang, bukan makelar kasus (markus). Ulama Hanafiah, Hanabilah dan Zaidiyah menyatakan hukumnya boleh, karena masing-masing pihak bertindak sebagai wakil dari pihak lain, sehingga pihak lain itupun terikat pada transaksi yang dilakukan mitra serikatnya. Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah menyatakan tidak sah dan tidak dibolehkan, karena modal dan kerja dalam perserikatan ini tidak jelas.
e.       Syirkah Mufawadhah, perserikatan dua orang atau lebih pada suatu obyek, dengan syarat masing-masing pihak memasukkan modal yang sama jumlahnya, serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama pula. Jika mendapat keuntungan dibagi rata, dan jika berbeda tidak sah. Masing-masing pihak hanya boleh melakukan transaksi jika mendapat persetujuan dari pihak lain (sebagai wakilnya), jika tidak, maka transaksi itu tidak sah. Ulama Hanafiah dan Zaidiyah menyatakan bentuk perserikatan seperti ini dibolehkan. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak boleh, karena sulit untuk menentukan prinsip kesamaan modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan itu, disamping tidak ada satu dalilpun yang shahih yang bisa dijadikan dasar hukum. Tetapi mereka membolehkan Mufawadhah seperti pandangan Malikiyah, yaitu boleh mufawadhah jika masing-masing pihak yang berserikat dapat bertindak hukum secara mutlak dan mandiri terhadap modal kerja, tanpa minta izin dan musyawarah dengan mitra serikatnya.
            Sedangkan di Indonesia perseroan atau serikat tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu:
1.      Perkumpulan yang tidak berbadan hukum.
2.      Perkumpulan yang berbadan hukum.
Adapun perkumpulan (serikat) yang tidak berbadan hukum itu terdiri dari:
1)      Persekutuan perdata
2)      Persekutuan firma, dan
3)      Persekutuan komanditer.
Sedangkan persekutuan yang berbadan hukum itu seperti:
1)      Perseroan Terbatas (PT),
2)      Koperasi, dan
3)      Perkumpulan saling menanggung.
Menyangkut pendirian perkumpulan/serikat yang tidak berbadan hukum, bahwa dapat dikatakan bahwa pendiriannya tidak perlu mendapatkan pengesahan dari pemerintah, misalnya:

Untuk mendirikan persekutuan perdata tidak perlu ada formaliitas sedkitpun, pendiriannya cukup dilakukan dengan adanya kesepakatan para pihak, pendaftaran dan pengumuman tidak perlu dilakukan.
1)      Untuk mendirikan persekutuan firma, biasanya didirikan dengan Akta Notaris, setelah didirikan kemudian didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dan diumumkan dalam berita Negara Republik Indonesia.
2)      Untuk mendirikan persekutuan komanditer, cukup dilakukan sebagaimana halnya pendirian Persekutuan Firma.
Berbeda hanya dengan mendirikan sebuah Serikat yang berbadan hukum, yang mana pendirian suatu Serikat yang berbadan hukum disyaratkan adanya pengesahan dari Pemerintah. Pengesahan Pemerintah ini  dimaksudkan sebagai tindakan preventif, misalnya:
1)      Dalam hal mendirikan suatu serikatyang berbentuk Perseroan Terbatas, pendiriannya dilakukan dengan Akta Notaris, dan kemudian akta pendirian tersebut mutlak diperlukan pengesahan akta pendirian dan Anggaran Dasarnya oleh Pemerintah, dalam hal ini Mentri Kehakiman.
2)      Untuk mendirikan perkumpulan yang berbentuk Koperasi, akta perdiriannya mutlak disahkan oleh Pemerintah, dalam hal ini Mentri yang diserahi untuk melaksanakan urusan perkoperasian.

D. Sifat Akad Perkongsian dan Kewenangan
1.      hukum kepastian (luzum) syirkah
Kebanyakan ulama fiqih berpendapat bahwa akad syirkah dibolehkan, tetapi tidak lazim. Oleh karena itu, salah seorang yang bersekutu dibolehkan membatalakan akad atas sepengetahuan rekannya untuk menghindari kemadlaratan.
2.      kewenangan syarik (yang berserikat)
Para ahli fiqih sepakat bahwa kewenangan syarik perkongsian adalah amanah, seperti dalam titipan, karena memegang atau menyerahkan harta atas izin rekannya.


E. Hal yang Membatalkan Syirkah
1. pembatalan syirkah secara umum
·         pembatalan dari salah seorang yang bersekutu
·         meninggalnya salah seorang syarik
·         salah seorang syarik murtad atau membelot ketika perang
·         gila
2.      pembatalan syirkah secara khusus
·         harta syirkah rusak (syirkah amwal)
·         tidak ada kesamaan modal (syirkah mufawidhah)
F.    Hikmah Syirkah
Syirkah mengandung hikmah yang sangat besar, baik bagi pelakunya maupun bagi masyarakat luas, diantaranya sebagai berikut :
1.      Terkumpulnya modal dengan jumlah yang sangat besar, sehingga dapat digunakan untuk mengadakan pekerjaan-pekerjaan besar pula.
2.      Dapat memperlancar laju perkembangan ekonomi makro.
3.      Terciptanya lapangan pekerjaan yang lebih luas dan mandiri.
4.      Terjalinnya rasa persaudaraan di antara sesama pemegang modal dan mitra kerja yang lain.
5.      Pemikiran untuk memajukan perusahaan menjadi lebih banyak karena berasal dari banyak orang.


PENUTUP

Kesimpulan
Manusia tidak dapat hidup sendirian, pasti membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan. Ajaran Islam mengajarkan agar kita menjalin kerjasama dengan siapapun terutama dalam bidang ekonomi dengan prinsip saling tolong-menolong dan saling menguntungkan (mutualisme), tidak menipu dan tidak merugikan. Tanpa kerjasama maka kita sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Syirkah pada hakikatnya adalah sebuah kerjasama saling menguntungkan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki baik berupa harta atau pekerjaan. Oleh karena itu Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja sama sesuai prinsip di atas.
Hukum syirkah sendiri adalah boleh (mubah/halal) sebagaimana kebolehan kita makan, minum dan lain-lain sejauh tidak ada hal yang melarangnya (mengharamkannya di dalam Qur’an maupun Sunnah).




DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Surat An Nisa’
Syafei, Rachmat Prof. Dr. H. Ma.2000.Fiqih Muammalah. Bandung: CV:Pustaka setia
Umari , Barmawi drs. H. 1986.ilmu Fiqih Ibadah Muammalah Munakahat.Solo:CV. Ramadhan


No comments:

Post a Comment