Hatiku
telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa;
ia merupakan padang rumput bagi menjangan,
biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala,
ka`bah tempat orang bertawaf,
batu tulis untuk Taurat,
dan mushaf bagi al-Qur’an.
Agamaku adalah agama cinta,
ia merupakan padang rumput bagi menjangan,
biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala,
ka`bah tempat orang bertawaf,
batu tulis untuk Taurat,
dan mushaf bagi al-Qur’an.
Agamaku adalah agama cinta,
yang
senantiasa kuikuti ke mana pun langkahnya;
itulah agama dan keimananku”
itulah agama dan keimananku”
A. PENDAHULUAN
Ajaran cinta kasih ternyata tidak
hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad sendiri –yang notabene pembawa
agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi
alam semesta (rahmah lil ‘alamin).[2]
Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam
telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan
yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti
al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak
yang harus dilalui para sufi.[3]
Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang
mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman
modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang yang tertarik dengan pencarian
kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika
alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi
tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak
mengorbankan penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan
oleh kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang
rohani dalam dirinya.
B. DASAR-DASAR AJARAN MAHABBAH
1. Dasar Syara’
Ajaran mahabbah memiliki
dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW. Hal ini
juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya,
dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama
lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.[4]
a.
Dalil-dalil dalam al-Qur’an,
misalnya sebagai berikut:
1) QS. Al-Baqarah ayat 165
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka
kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui
ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal).
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu
yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang
suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
b. Dalil-dalil dalam hadis Nabi
Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
Tiga
hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman,
yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain
keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga
benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka. [5]
….Tidaklah seorang hamba-Ku
senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan
mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang
ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk
melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya
yang ia gunakan untuk berjalan. …[6]
Tidak beriman seseorang dari kalian
sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh
manusia.[7]
2.
Dasar Filosofis
Dalam mengelaborasi dasar-dasar
filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan
ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada
tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai
berikut:
a.
Cinta tidak akan terjadi tanpa
proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu
atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki
rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk
hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas
oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan
bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu
atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan
dibenci oleh manusia. [8]
b. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat
pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan
semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar
peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan
dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar
pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa
dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini
juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang
dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan
rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang
dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.
c.
Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh
makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri
sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya
dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan
hidupnya.
Selanjutnya al-Ghazali juga
menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta.[9]
Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta
sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah
sebagai berikut:
a.
Cinta kepada diri sendiri,
kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan
Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri
pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan
yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan
hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak
lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia
mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta
kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal Tuhannya, maka
semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
b. Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang
berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah
manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran
manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang
nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang
hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif
ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah
jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi,
maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan
pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif
ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa
Allah jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan
hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan
kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa,
bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua
kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta kepada kebaikan pun berujung kepada
Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih
apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah
Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk
menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap diberikan.
Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan
mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang
betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik,
yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
c.
Mencintai diri orang yang berbuat
baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan per se juga
merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang
berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut,
meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik
dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah
menerima langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim
dan korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami
langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.
Hal ini pun pada gilirannya akan
mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena
kebaikan Allah tercipta alam semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak
langsung merasakannya, kebaikan Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini
menunjukkan bahwa Allah memang pantas untuk dicintai. Kebaikan Allah yang
menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan cantik jelita namun tinggal di
Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak langsung dirasakan seorang Iwan
Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.
d. Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai,
baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh
telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan
perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya,
dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan
penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir
inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah
inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan
fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih
kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan
itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan
adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya
batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha
Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia
pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk
dicintai.
e.
Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang
lain, maka akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil
cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen
tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang
becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat
kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya
muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan
besar karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya.
Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan
benci.
Dalam konteks kesesuaian dan
keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian
yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas,
namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan
misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan
secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa
seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat
Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan
kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan
pernah ada yang mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat
dalam jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu
mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi).
Keserasian tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh
orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.
C. RABI’AH AL-ADAWIYAH: PERINTIS
TASAWUF CINTA
Sosok sufi perempuan ini sangat
dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua Hijriah, dan meninggal pada
tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari
keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang
disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.[10]
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu
menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak
tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak
kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan
al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada
Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya
begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.[11]
Sedemikian tulusnya cinta kepada
Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah
munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu
karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku
beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi,
sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku,
janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”[12]
Saking besar dan tulusnya cinta
Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak
ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada
Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci
apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta
kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk
tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan
hidupnya hanya untuk Allah semata.[13]
D. DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH
1. Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah)
lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan.[14]
Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang
kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada
dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang
persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian
sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana
dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang
memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia
dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk
menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu
mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.[15]
Menurut Abu Yazid al-Busthami
mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan
menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah
al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan
menghindari tindak-tanduk kedurhakaan.[16]
Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati
seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.[17]
2. Cinta Sejati adalah Cinta kepada
Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang
mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal
itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta
kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta
tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah
adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang
dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula
semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.[18]
Jika sudah dipahami dan disadari
dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah diuraikan al-Ghazali
sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu mengumpulkan
sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab
tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan
bukanlah hakiki.[19]
Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa
pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati,
yaitu cinta terhadap Allah.[20]
3. Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam
terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan,
kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’,
maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu
tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah,
dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah
apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati.
Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di
dalam jiwa dan tidak statis.[21]
Menurut al-Ghazali, cinta kepada
Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari
rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain
hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns),
rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu,
tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar
pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat,
sabar, zuhud, dan lain-lain.[22]
Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta
merupakan maqam ilahi.[23]
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut
al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi,
cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat
Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan
tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai
yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang
mencintai Tuhan.[24]
4. Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut
Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama,
cinta orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih
sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan
keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai
sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.[25]
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan
mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka
terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri
cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain
itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat
(kemanusiaan dan keinginan duniawi).[26]
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan
arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka
terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun.
Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati
dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang
bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah.
Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju
kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam
ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai
pengganti sifat-sifatnya.[27]
E. PENGARUH DOKTRIN MAHABBAH
Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah
mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta
ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik di kalangan tasawuf.
Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya.
Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.
Pada perkembangan tasawuf
selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema yang mendapat pembahasan
secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas lebih mendalam tentang tema
ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi
dengan al-Luma’, al-Qusyairi dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali
dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan
lain-lain.
Pada bidang puisi, banyak para sufi
yang juga sekaligus penyair yang kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu
Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan
lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer masih banyak yang
menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk
kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.
F. PENUTUP
Ajaran cinta ilahi yang
dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus
jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama
tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan
oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi
berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah
di masyarakat, seperti puisi yang didengungkan oleh Ibnu Arabi di awal makalah.
Meski demikian, ajaran cinta dalam
Alquran sendiri, juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan
sosial; antara emosional dan rasional. Dari penelitian yang pernah dilakukan
penulis, term-term cinta yang ditampilkan Alquran justru bersifat dinamis dan
menghendaki aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Alquran hampir
selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial.[28]
Karena itu tidaklah mengherankan jika di akhir abad 19 hingga awal abad 20,
beberapa kelompok sufi di Afrika Utara menjadi pendorong perlawanan terhadap
penjajahan Barat. Wallahu a’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna
Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah
al-Qusyairiyyah, (format e-book
dalam Program Syamilah).
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani,
Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad
Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985).
Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf
li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah,
1969).
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt).
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’,
(Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960).
Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj.
Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993).
Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Ibn al-Mulqin, Thabaqat
al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah)
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah
al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib
al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987).
Muhyiddin Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book
dalam Program Syamilah).
______, Dzakhair al-A’laq Syarh Tarjuman al-Asywaq, seperti
dikutip oleh Syamsuddin Arif, “Ibnu Arabi dan Pluralisme” dalam http://www.hidayatullah.com
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain
al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi,
(Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt).
[1] Muhyiddin ibn al-Arabi, The Tarjuman al-Ashwaq,
(London: Theosophical Publishing House Ltd, 1978), hal. 19.
[2] Dan tiadalah Kami mengutus kamu
(Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS.
Al-Anbiya: 107).
[3] Lihat, penjelasan al-Ghazali tentang hal ini dalam Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar
al-Ma’rifah, tt), juz IV, hal. 293 dan seterusnya.
[4] Lihat kajian tentang sumber-sumber tasawuf dan tudingan para
orientalis, misalnya, dalam Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari
Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani,
(Bandung: Pustaka, 1985) hal. 22-34.
[5] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’
as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu
Katsir, 1987), juz 1, hal.
14.
[7] Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi,
Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats
al-Arabi, tt), juz 1, hal. 67.
[8] Lihat, penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa
asy-Syauq wa ar-Ridha, dalam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, op. cit., juz
4, hal. 296-300.
[10] Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book
Program al-Maktabah asy-Syamilah), juz 1, hal. 68.
[16] Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary
dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 278-279.
[17] Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl
at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969), hal. 130.
[23] Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book
Program al-Maktabah asy-Syamilah), juz 3, hal. 465.
[24] Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah
al-Qusyairiyyah, (format
e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), hal.
143.
No comments:
Post a Comment