Akhlak Rasulullah yang ia merupakan kunci bagi
kita untuk bertemu dengan Allah subhana wa ta’ala dalam keadaan diridoi, untuk
mendapatkan rahmat dari Allah subhana wa ta’ala di hari kiamat kelak. Maka
kunci tersebut adalah dengan kita mengambil teladan mencontoh beliau dalam
segala aspek kehidupan, baik itu dalam akhlak, akidah, ibadah, adab dan
seterusnya.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ
اللَّهَ كَثِيرًا
dan sungguh telah ada bagi kalian pada diri
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam suri teladan yang baik, diperuntukkan
bagi orang-orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah subhana wa ta’ala dan
mengharapkan rahmat-Nya pada hari kiamat kelak dan banyak mengingat Allah.
Maka kunci bagi untuk mendapatkan rahmat dan
bertemu dengan Allah dalam keadaan diridhoi adalah dengan kita mengambil
teladan dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Diantara teladan
Rasulullah ajarkan kepada kita adalah dalam bidang akhlak, dimana Rasulullah
memiliki akhlak-akhlak yang utama, akhlak-akhlak yang mulia. Diantara akhlak
beliau adalah tentang sifat pemaaf beliau.
Beliau adalah seorang manusia yang memiliki
sifat-sifat yang paripurna, sifat-sifat yang mulia, dan diantara sifat beliau
yang merupakan akhlak yang terpuji akhlak yang mulia, adalah sifat pemaaf
beliau. Sifat pemaaf ini banyak dapat kita jumpai dari beliau dalam
kejadian-kejadian yang telah berlalu dalam hadis-hadis shahih. Diantaranya
adalah tentang kisah ketika seorang badui mencuri pedang beliau ketika beliau
sedang tidur, dalam sebuah hadis yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari.
عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ,
أَخْبَرَهُ : أَنَّهُ غَزَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قِبَلَ نَجْدٍ , فَلَمَّا قَفَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَفَلَ مَعَهُ , فَأَدْرَكَتْهُمُ الْقَائِلَةُ فِي وَادٍ
كَثِيرِ الْعِضَاهِ , فَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَتَفَرَّقَ النَّاسُ فِي الْعِضَاهِ يَسْتَظِلُّونَ بِالشَّجَرِ , وَنَزَلَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ سَمُرَةٍ فَعَلَّقَ
بِهَا سَيْفَهُ , قَالَ جَابِرٌ : فَنِمْنَا نَوْمَةً , ثُمَّ إِذَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُونَا فَجِئْنَاهُ , فَإِذَا
عِنْدَهُ أَعْرَابِيٌّ جَالِسٌ , فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : ” إِنَّ هَذَا اخْتَرَطَ سَيْفِي وَأَنَا نَائِمٌ , فَاسْتَيْقَظْتُ
وَهُوَ فِي يَدِهِ صَلْتًا , فَقَالَ لِي : مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّي ؟ قُلْتُ :
اللَّهُ ” , فَهَا هُوَ ذَا جَالِسٌ ثُمَّ لَمْ يُعَاقِبْهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Dari sahabat Jabir bin Abdillah
radhiyallahu’anhuma beliau mengabarkan bahwa beliau dahulu pernah berjihad
bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menuju Najd, ketika Rasululllah
shallallahu’alaihi wa sallam berjalan maka berjalan mengikutinya, setelah
perjalanan yang lama letih pun menimpa mereka sehingga mereka beristirahat di
suatu lembah yang di sana terdapat banyak pohon. Maka Rasulullah pun singgah di
sana dan para sahabat berpencar mencari naungan pohon dari terik matahari.
Rasulullah beristirahat di bawah sebuah pohon dan menggantungkan pedangnya pada
pohon tersebut. Jabir berkata, “Kami pun tertidur beberapa saat, namun
tiba-tiba Rasulullah memanggil kami, maka kami pun bergegas menuju kepadanya,
kami pun mendapati seorang Arab Badui duduk di samping beliau.” Rasulullah pun
menceritakan perihal Arab Badui tersebut, “Orang ini tadi mencuri pedangku
ketika aku sedang tertidur, maka ketika aku terbangun kudapati pedang itu
berada di tangan orang ini terhunus kepadaku, dia pun berkata kepadaku,
“Siapakah yang akan melindungimu dariku?” Aku pun menjawab, “Allah. (dalam
riwayat lain dia mengulanginya sebanyak 3 kali dan Nabi pun menjawab dengan
jawaban Allah sebanyak 3 kali) sehingga akhirnya dia pun menurunkannya, dan
duduk disamping beliau dan beliau tidak membalasnya.
Hadis lain yang menunjukkan tentang kebesaran sifat pemaaf beliau adalah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ ، أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ بَيْنَ
أَمْرَيْنِ إِلا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا ، فَإِنْ كَانَ
إِثْمًا كَانَ أَبَعْدَ النَّاسِ عَنْهُ ، وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ
فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ بِهَا
Dari ‘Aisyah istri Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam beliau menceritakan perihal Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bahwasanya jika beliau diberi dua pilihan dalam suatu perkara maka pasti beliau
memilih yang paling mudah selama bukan merupakan dosa dan kesalahan, namun jika
perbuatan itu adalah dosa maka beliau adalah orang yang paling menjauhinya, dan
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah membalas perbuatan yang
melukai atau pun menyakiti hati maupun fisik beliau. Namun jika kehormatan dan
kemuliaan Allah dilanggar maka beliau akan membalasnya.
عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : ” كُنْتُ أَمْشِي
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ
نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ ، فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ ، فَجَبَذَهُ
جَبْذَةً حَتَّى رَأَيْتُ صَفْحَ أَوْ صَفْحَةِ عُنُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ الْبُرْدِ مِنْ شِدَّةِ
جَبْذِهِ ، فَقَالَ : يَا مُحَمَّدُ أَعْطِنِي مِنْ مَالِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
الَّذِي عِنْدَكَ ، فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ ثُمَّ ضَحِكَ ، ثُمَّ أَمَرَ أَنْ
يُعْطَى
Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu
bercerita bahwa suatu hari pernah berjalan bersama Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam dan waktu itu beliau mengenakan sebuah kain yang
ujungnya kasar, tiba-tiba seorang Arab Badui datang menghampirinya seraya
menarik kain tersebut dengan kuat sehingga melukai leher beliau, aku pun
melihat luka pada lehernya akibat ujung kain tersebut yang ditarik dengan kuat
oleh sang Arab Badui tersebut. Arab Badui tersebut kemudian berkata kepada
beliau, “Hai Muhammad, berikan kepadaku harta Allah Azza wa Jalla yang berada
padamu, kemudian beliau menoleh kepadanya dan tertawa, setelah itu beliau
menyuruh seseorang untuk memberikan beberapa harta kepadanya.
Selengkapnya dengarkan kajian berikut.
Pada kajian kali ini Ust. Askar
Wardhana, Lc حفظه الله menjelaskan kepada kita tentang akhlak
pemaaf Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam . Kajian ini disampaikan
di Radio Aliman Surabaya hari
kamis tanggal 12 September 2013.
sunnah beliau sampai hari kiamat.
Kaum muslimin yang kami muliakan,
sesungguhnya segala kebaikan dan kenikmatan yang ada pada kita adalah karunia
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ
اللهِ (53)
“Dan apa saja nikmat yang ada pada
kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…”
(QS. An-Nahl: 53)
Betapa melimpahnya kenikmatan yang
Allah Ta’ala berikan kepada kita, yang tidak terhingga jumlahnya. Allah
memberikan kita kehidupan, kesehatan, makanan, minuman, pakaian dan begitu
banyak nikmat yang lainnya. Jika kita berusaha menghitung nikmat yang Allah
karuniakan kepada kita, niscaya kita tidak akan mampu menghitungnya. Allah Ta’ala
berfirman:
وَإِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ
تُحْصُوْهَا (18)
“Dan jika kamu menghitung-hitung
nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (QS. An-Nahl: 18).
Kebaikan
Yang Hakiki Hanya Ada Pada Seorang Mukmin
Kaum muslimin yang kami muliakan,
seorang muslim sejati tidak pernah terlepas dari tiga keadaan yang merupakan
tanda kebahagiaan baginya, yaitu bila dia mendapat nikmat maka dia bersyukur,
bila mendapat kesusahan maka dia bersabar, dan bila berbuat dosa maka dia beristighfar (Qowa’idul Arba’, hal. 01),
Sungguh menakjubkan keadaan seorang
mukmin. Bagaimanapun keadaannya, dia tetap masih bisa meraih pahala yang
banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ
أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ
أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ
صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang
mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali
pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka
yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa
kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan
baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh
Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu).
Kelapangan
Hidup Merupakan Bagian Dari Ujian
Merupakan sunnatullah bahwasanya
Allah Ta’ala telah menentukan ujian dan cobaan bagi para hamba-Nya.
Mereka akan diuji dengan berbagai macam ujian, baik dengan sesuatu yang
disenangi oleh jiwa berupa kemudahan dalam hidup atau kelapangan rizki, dan
juga akan diuji dengan perkara yang tidak mereka sukai, berupa kemiskinan,
kesulitan, musibah atau yang lainnya.
Allah Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ (35)
“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan
merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)
‘Abdullah ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
“Maksudnya, Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan
dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan maksiat,
serta petunjuk dan kesesatan. (Tafsiir ath-Thabari, IX/26, no. 24588).
Inilah sunnatullah yang berlaku pada
para hamba-Nya. Oleh karena itulah, kita melihat manusia ini berbeda kondisi
kehidupannya. Ada yang hidup dengan harta yang melimpah, fasilitas dan
kedudukan. Ada juga yang ditakdirkan hidup sederhana lagi pas-pasan. Bahkan ada
juga yang hidup fakir miskin dan tidak punya apa-apa.
Segala nikmat yang Allah berikan
kepada kita adalah ujian bagi kita, apakah kita akan menjadi hamba-Nya yang
bersyukur ataukah menjadi orang yang kufur. Sungguh benar apa yang diucapkan
oleh Nabi Sulaiman ‘alaihis salam tatkala mendapatkan nikmat, beliau
mengatakan
هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْ
لِيَبْلُوَنِيْ أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ
لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ (40)
“Ini termasuk karunia dari Rabb-ku
untuk mengujiku, apakah aku bersyukur ataukah mengingkari (nikmat-Nya). Dan
barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabb-ku Maha
Kaya lagi Maha Mulia.” (QS.
An-Naml: 40).
Syukur
Adalah Sifat Mulia Para Nabi
Sesungguhnya para nabi dan rasul ‘alaihimush
sholatu was salam adalah manusia pilihan Rabb semesta alam, yang diutus ke
dunia sebagai suri tauladan bagi umatnya. Mereka adalah manusia terdepan dalam
setiap amal kebajikan. Salah satu sifat yang sangat menonjol pada mereka adalah
senantiasa bersyukur terhadap nikmat yang telah Allah limpahkan pada mereka.
Allah Ta’ala banyak menceritakan keutamaan mereka dalam al-Qur’an
sebagai teladan bagi kita. Allah ‘Azza wa Jalla menyanjung Nabi Nuh ‘alaihis
salam dengan firman-Nya:
إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُوْرًا (3)
“Sesungguhnya dia adalah hamba
(Allah) yang banyak bersyukur.”
(QS. Isra’: 3)
Al-Bukhari dan Muslim menceritakan
di dalam kitab Shahih-nya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bangun shalat malam hingga kedua kaki beliau bengkak. Lalu istri beliau, yaitu
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, ”Mengapa Anda melakukan ini,
padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang dulu maupun yang akan
datang?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا
”Tidak pantaskah jika aku menjadi
hamba yang bersyukur?” (Hadits
shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4837 dan Muslim, no. 2820)
Hakikat
Syukur
Syukur adalah akhlaq yang mulia,
yang muncul karena kecintaan dan keridho’an yang besar terhadap Sang Pemberi
Nikmat. Syukur tidak akan mungkin bisa terwujud jika tidak diawali dengan
keridho’an. Seseorang yang diberikan nikmat oleh Allah walaupun sedikit, tidak
mungkin akan bersyukur kalau tidak ada keridho’an. Orang yang mendapatkan penghasilan
yang sedikit, hasil panen yang minim atau pendapatan yang pas-pasan, tidak akan
bisa bersyukur jika tidak ada keridho’an. Demikian pula orang yang diberi
kelancaran rizki dan harta yang melimpah, akan terus merasa kurang dan tidak
akan bersyukur jika tidak diiringi keridho’an.
Kaum muslimin yang kami muliakan,
syukur yang sebenarnya tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan “alhamdulillah”.
Namun hendaknya seorang hamba bersyukur dengan hati, lisan dan anggota
badannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah,
“Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan. (Minhajul
Qosidin, hal. 305)
Adapun tugasnya hati dalam bersyukur
kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah
Pertama : Mengakui dan meyakini bahwa nikmat tersebut semata-mata
datangnya dari Allah Ta’ala dan bukan dari selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…”
(QS. An-Nahl: 53). Meskipun bisa jadi kita mendapatkan nikmat itu melalui teman
kita, aktivitas jual beli, bekerja atau yang lainnya, semuanya itu adalah
hanyalah perantara untuk mendapatkan nikmat. Kedua : Mencintai Allah Ta’ala
yang telah memberikan semua nikmat itu kepada kita. Ketiga : Meniatkan
untuk menggunakan nikmat itu di jalan yang Allah ridhai.
No comments:
Post a Comment