Waqaf menurut jumhur
II.A. Kedudukan Wakaf menurut Pandangan Ulama
Menurut Abu Hanifah, wakaf adalah penghentian benda tidak bergerak dari kepemilikan si waqif secara hukum dan menyedekahkan manfaatnya untuk kepentingan umum. Oleh karena itu, barang yang diwakafkan tidak harus lepas dari pemiliknya(si waqif) dan sah bagi si waqif untuk menariknya lagi serta menjualnya.
Menurut Abu Hanifah, wakaf dapat ditarik kembali kecuali : Pertama, hakim memutuskan bahwa wakaf tetap. Hal ini terjadi jika ada persengketaan antara waqif dan nadzir.
Kedua, hakim menggantungkan berlakunya wakaf pada kematian waqif. Misalnya si waqif mengatakan, “ jika aku mati maka aku mewakafkan rumahku”, maka wakaf ituu harus dilaksanakan sebagaimana wasiatnya ( dilaksanakan setelah si waqif meninggal dunia ).
Ketiga, apabila seseorang menjadikan wakafnya itu sebagai masjid dan ia mengizinkan di dalam wakaf tersebut untuk shalat, maka apabila sudah ada seseorang shalat di masjid tersebut, menurut Abu Hanifah, hilangnya wakaf tersebut dari kepemilikan si waqif. Penetapan ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Allah SWT. Dalam hal ini, Abu Hanifah mengemukakan dua dalil:
“Dari Ibnu Abbas berkata bahw Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada penahanan dari ketentuan-ketentuan Allah SWT. ”Berkata Ali RAhimahullah, hadis ini tidak disandarkan kepada siapapun kecuali kepada Ibnu Luhai’ah dari saudaranya dan keduanya lemah” (Hadis riwayat Daruqutni).
Berdasarkan hadis di atas, Abu Hanifah berpendapat bahwa seandainya wakaf itu adalah mengeluarkan harta yang diwakafkan dari kepemilikan si waqif, niscaya hal itu merupakan penahanan dari ketentuan-ketentuan Allah SWT. Hal ini dikarenakan, sesungguhnya wakaf itu berkisar antara masalah warisan dan bagian-bagian mereka yang sudah ditentukan.
Di samping hadis yang sudah disebutkan, Abu Hanifah juga mengemukakan hadis lain untuk mendukung pendapatnya tersebut, yakni :
Dari Abi ‘Aun dari Syuraih berkata, “Telah datang Muhammad saw dengan menjual Habs” (Hadis diriwayatkan oleh Baihaqi)
Kemudian Abu Hanifah menyatakan, apabila Rasulullah saw datang dengan hal yang demikian (menjual habs atau waqf) maka kita tidak tidak perlu menciptakan habs atau waqf yang lain. Sebab, wakaf itu artinya menahan ‘ain(barang yang diwakafkan) sedangkan melepaskan barang wakaf tidak disyariatkan oleh islam.
Adapun wakaf adalah suatu anjuran yang ada dalam sistem ajaran islam. Dalam hal ini, Imam Syafi’I berkata: “ Sepanjang yang saya ketahui, orang Jahiliyyah tidak pernah menahan sesuatu benda unntuk kepentingan umum(mewakafkan hartanya). Karena habs(menghalangi) adalah tindakan orang islam.”
Meskipun Abu hanifah berpendapat bahwa harta yang diwakafkan dapat ditarik kembali oleh waqif, namun di sisi lain ia juga berpendapat bahwa jika terjadi perselisihan antara waqif dengan nadzir, maka hakim mempunyai wewenang untuk memutuskan bahwa wakaf tersebut harus berlangsung terus dan tidak boleh ditarik kembali oleh si waqif.
Adapun menurut Jumhur, termasuk di dalamnya adalah dua sahabat Abu Hanifah yakni Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hasan, golongan Syafi’iyah dan golongan Hanabilah, wakaf adalah menahan harta yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya, tetap ‘ainnya(pokoknya), dibelanjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dengan diwakafkannya itu, harta keluar dari pemiliknya, yaitu si waqif. Jadilah harta wakaf tersebut secara hukum milik Allah SWT. Bagi si waqif yang terhalang untuk memanfaatkannyamaka wajib mendermakan hasilnya sesuai tujuan. Dalam hal ini Jumhur Ulama memberikan dalil dengan hadis Ibnu Umar :
Menurut Abu Hanifah, wakaf adalah penghentian benda tidak bergerak dari kepemilikan si waqif secara hukum dan menyedekahkan manfaatnya untuk kepentingan umum. Oleh karena itu, barang yang diwakafkan tidak harus lepas dari pemiliknya(si waqif) dan sah bagi si waqif untuk menariknya lagi serta menjualnya.
Menurut Abu Hanifah, wakaf dapat ditarik kembali kecuali : Pertama, hakim memutuskan bahwa wakaf tetap. Hal ini terjadi jika ada persengketaan antara waqif dan nadzir.
Kedua, hakim menggantungkan berlakunya wakaf pada kematian waqif. Misalnya si waqif mengatakan, “ jika aku mati maka aku mewakafkan rumahku”, maka wakaf ituu harus dilaksanakan sebagaimana wasiatnya ( dilaksanakan setelah si waqif meninggal dunia ).
Ketiga, apabila seseorang menjadikan wakafnya itu sebagai masjid dan ia mengizinkan di dalam wakaf tersebut untuk shalat, maka apabila sudah ada seseorang shalat di masjid tersebut, menurut Abu Hanifah, hilangnya wakaf tersebut dari kepemilikan si waqif. Penetapan ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Allah SWT. Dalam hal ini, Abu Hanifah mengemukakan dua dalil:
“Dari Ibnu Abbas berkata bahw Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada penahanan dari ketentuan-ketentuan Allah SWT. ”Berkata Ali RAhimahullah, hadis ini tidak disandarkan kepada siapapun kecuali kepada Ibnu Luhai’ah dari saudaranya dan keduanya lemah” (Hadis riwayat Daruqutni).
Berdasarkan hadis di atas, Abu Hanifah berpendapat bahwa seandainya wakaf itu adalah mengeluarkan harta yang diwakafkan dari kepemilikan si waqif, niscaya hal itu merupakan penahanan dari ketentuan-ketentuan Allah SWT. Hal ini dikarenakan, sesungguhnya wakaf itu berkisar antara masalah warisan dan bagian-bagian mereka yang sudah ditentukan.
Di samping hadis yang sudah disebutkan, Abu Hanifah juga mengemukakan hadis lain untuk mendukung pendapatnya tersebut, yakni :
Dari Abi ‘Aun dari Syuraih berkata, “Telah datang Muhammad saw dengan menjual Habs” (Hadis diriwayatkan oleh Baihaqi)
Kemudian Abu Hanifah menyatakan, apabila Rasulullah saw datang dengan hal yang demikian (menjual habs atau waqf) maka kita tidak tidak perlu menciptakan habs atau waqf yang lain. Sebab, wakaf itu artinya menahan ‘ain(barang yang diwakafkan) sedangkan melepaskan barang wakaf tidak disyariatkan oleh islam.
Adapun wakaf adalah suatu anjuran yang ada dalam sistem ajaran islam. Dalam hal ini, Imam Syafi’I berkata: “ Sepanjang yang saya ketahui, orang Jahiliyyah tidak pernah menahan sesuatu benda unntuk kepentingan umum(mewakafkan hartanya). Karena habs(menghalangi) adalah tindakan orang islam.”
Meskipun Abu hanifah berpendapat bahwa harta yang diwakafkan dapat ditarik kembali oleh waqif, namun di sisi lain ia juga berpendapat bahwa jika terjadi perselisihan antara waqif dengan nadzir, maka hakim mempunyai wewenang untuk memutuskan bahwa wakaf tersebut harus berlangsung terus dan tidak boleh ditarik kembali oleh si waqif.
Adapun menurut Jumhur, termasuk di dalamnya adalah dua sahabat Abu Hanifah yakni Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hasan, golongan Syafi’iyah dan golongan Hanabilah, wakaf adalah menahan harta yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya, tetap ‘ainnya(pokoknya), dibelanjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dengan diwakafkannya itu, harta keluar dari pemiliknya, yaitu si waqif. Jadilah harta wakaf tersebut secara hukum milik Allah SWT. Bagi si waqif yang terhalang untuk memanfaatkannyamaka wajib mendermakan hasilnya sesuai tujuan. Dalam hal ini Jumhur Ulama memberikan dalil dengan hadis Ibnu Umar :
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ , فَأَتَى اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا, فَقَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْه ُ قَالَ : إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا, وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ : فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ, ]غَيْرَ] أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا, وَلَا يُورَثُ , وَلَا يُوهَبُ , فَتَصَدَّقَ بِهَا فِي اَلْفُقَرَاءِ, وَفِي اَلْقُرْبَى, وَفِي اَلرِّقَابِ, وَفِي سَبِيلِ اَللَّهِ, وَابْنِ اَلسَّبِيلِ, وَالضَّيْفِ, لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ , وَيُطْعِمَ صَدِيقاً ) غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالًا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : ( تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ, لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ, وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ )
Artinya :
Ibnu Umar berkata: Umar Radliyallaahu 'anhu memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk meminta petunjuk dalam mengurusnya. Ia berkata: Wahai Rasulullah, aku memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang menurutku, aku belum pernah memperoleh tanah yang lebih baik daripadanya. Beliau bersabda: "Jika engkau mau, wakafkanlah pohonnya dan sedekahkanlah hasil (buah)nya." Ibnu Umar berkata: Lalu Umar mewakafkannya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, diwariskan, dan diberikan. Hasilnya disedekahkan kepada kaum fakir, kaum kerabat, para hamba sahaya, orang yang berada di jalan Allah, musafir yang kehabisan bekal, dan tamu. Pengelolanya boleh memakannya dengan sepantasnya dan memberi makan sahabat yang tidak berharta. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat Bukhari disebutkan, "Umar menyedekahkan pohonnya dengan syarat tidak boleh dijual dan dihadiahkan, tetapi disedekahkan hasilnya.
Adapun menurut golongan Malikiyyah, wakaf berarti pemilik harta memberikan manfaat harta yang dimiliki bagi para mustahiq. Harta tersebut dapat berupa benda yang disewa kemudian hasilnya diwakafkan. Hasil harta yang diwakafkan tersebut dapat berupa benda-benda tertentu. Bahkan, golongan Malikiyyah berpendapat bahwa hasil harta wakaf berupa uangpun dapat diwakafkan asal dimanfaatkan untuk kebaikan.
Oleh karena itu, golongan Malikiyyah tidak mensyaratkan benda yang diwakafkan bersifat kekal. Misalnya, kepemilikan harta melalui sewa, yakni seseorang menyewa rumah atau tanah untuk dimiliki dalam waktu tertentu, kemudian ia mewakafkan hasil atau manfaat benda yang diwakafkan itu kepada mustahiq selama masa itu juga.
Apa yang dimaksud dengan kepemilikan menurut golongan Malikiyyah ini adalah bisa kepemilikan zat tersebutdan bisa juga kepemilikan manfaat. Menurut golongan Malikiyyah, wakaf tidak menyebabkan putusnya hak kepemilikan terhadap ‘ain(pokok) benda yang diwakafkan. Terputus adalah hak membelanjakannya.
Golongan ini memberikan dalil (dasar hukum) mengenai tetapnya kepemilikan pada barang yang diwakafkan dengan hadis Umar Bin Khattab yang sudah disebutkan diatas. Dalam hadis tersebut Rasulullah bersabda :
إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْه
“Jika engkau mau, tahanlah aslinya dan sedekahkan(manfaatnya).”
Hal ini menunjukkan bahwa sesuatu yang disedekahkan itu adalah hasilnya. Dengan demikian, harta yang diwakafkan tetap menjadi milik si waqif. Hanya saja, ia dilarang untuk mentasarufkan(memindahkan) dalam bentuk kepemilikan pada pihak lain. Pemahaman ini bersumber juga dari dalil Umar yang berbunyi sebagai berikut.
أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا, وَلَا يُورَثُ , وَلَا يُوهَبُ
“…..agar tidak dijual, tidak dihibahkan, juga tidak diwariskan.”
Hal ini berarti, menurut golongan Malikiyyah, meskipun status harta yang diwakafkan tetap menjadi milik si waqif, tetapi si waqaf wajib membelanjakan harta tersebut sesuai dengan tujuan di saat mewakafkannya. Ia tidak berhak menjual, menghibahkan, atau mewariskan kepada pihak lain.
Golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa si waqif boleh menarik harta yang diwakafkan dan boleh menjualnya kecuali hakim menetapkan wakaf itu tidak boleh ditarik kembali. Sungguhpun demikian, para ulama sepakat bahwa wakaf masjid termasuk dalam bab pembebasan dan pelepasan, tidak ada kepemilikan bagi seorangpun di dalamnya, karena masjid adalah milik Allah SWT.
Dari definisi-definisi yang sudah disebutkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ulama berpendapat bahwa dengan terjadinya wakaf, sifat kepemilikan benda yang diwakafkan menjadi lepas dari si waqif dan secara hukum harta wakaf tersebut menjadi milik Allah SWT.
Akan tetapi, ada diantara para ulama juga berpendapat bahwa kepemilikan harta yang diwakafkan itu tidak harus lepas dari si waqif, karena mereka(dalam hal ini sebagian golongan Hanafiyyah dan golongan Malikiyyah) berpendapat bahwa yang diwakafkan itu manfaatnya, sedangkan pemilikan tetap ada pada si waqif. Hal yang terputus bagi si waqif hanyalah hak-hak untuk membelanjakannya. Sungguhpun demikian, tidak berarti bahwa si waqif bebas memanfaatkan harta yang diwakafkan.
Menurut golongan ini, jika seseorang telah mewakafkan hartanya, kepemilikan atas harta tersebut tidak terputus, tetapi dia tidak boleh menjual, menghibahkan, dan mewariskan harta yang sudah diwakafkan itu kepada pihak lain. Hanya saja, karena benda yang diwakafkan itu tidak diisyaratkan lepas dari si waqif, maka golongan Malikiyyah memperbolehkan manfaat wakaf dari sesuatu yang disewa. Karenanya, golongan ini berpendapat bahwa syarat wakaf tidak harus ta’bid(benda yang bersifat abadi atau kekal).
Pendapat golongan Malikiyyah ini ada kelebihannya, yakni orang yang ingin berwakaf tidak harus menunggu yang bersangkutan memliki tanah(benda yang akan diwakafkan). Tetapi, cukup menyewa benda yang akan diwakafkan hasilnya.
Hal ini jelas banyak manfaatnya terutama untuk memelihara harta wakaf yang ada. Di sisi lain, pendapat ini akan menyebabkan lemahnya lembaga wakaf dan tidak sesuai dengan pendapat Jumhur Ulama yang mensyaratkan bahwa benda yang diwakafkan itu harus tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan terus menerus.
II.B. KEDUDUKAN WAKAF MENURUT UNDANG-UNDANG
a) Menurut PP 28 Tahun 1977
Dalam ketentuan umum wakaf pasal 1 diberi pengertian :
“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam”.
b) Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004
Dalam ketentuan umum wakaf pasal 1(1) diberi pengertian sebagai berikut :
“Wakaf adalah perbuatan hukum waqif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.
c) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No 41 Tahun 2004
“Wakaf adalah perbuatan hukum waqif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.
d) Kompilasi Hukum Islam(KHI)
Sebagaimana termuat dalam BUKU III KHI, wakaf diberi pengertian sebagai berikut :
“Perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam”.
II.C. ANALISIS
Berdasarkan penjelasan diatas mengenai kedudukan harta wakaf menurut para ulama dan menurut undang-undang yang ada di Indonesia, dapat kita tarik sebuah pemahaman bahwa antara ulama dan undang-undang memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dalam menanggapi kedudukan harta wakaf ini. Adapun persamaan dan perbedaan tersebut diantaranya :
1) Persamaan
• Selama wakaf, status harta wakaf adalah milik Allah/milik umum
Hal ini tentu dapat dipahami karena setiap harta yang diwakafkan memang diniatkan untuk kepentingan umum atau untuk Allah. Selama dalam masa itu pula, secara otomatis kedudukan barang itu bukan lagi menjadi milik wakif. Meskipun pada akhirnya nanti, status barang tersebut bisa tidak lagi menjadi barang wakaf apabila wakaf yang dikeluarkan oleh seseorang menggunakan wakaf berjangka ( mazhab Maliki)
• Yang disedekahkan adalah manfaat
Hal ini sudah jelas karena sudah tercantum dalam definisi wakaf, baik itu menurut UU,PP, dan KHI sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa wakaf dimaksudkan untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan umum. Jadi yang diambil adalah manfaatnya.
2) Perbedaan
Perbedaan kedudukan harta wakaf menurut para ulamadan undang-undang lebih ditekankan pada status harta wakaf tersebut,
• Menurut imam Syafi’i wakaf itu adalah milik Allah karena beliau memegang prinsip kehati-hatian.
• Menurut KHI, harta wakaf itu tidak bisa menjadi hak milik seseorang.
• Menurut UU, harta wakaf masih bisa menjadi hak milik seseorang karena dalam UU masih terdapat ketentuan berlakunya. Penguasaan harta wakaf(ada dalam jangka waktu tertentu)
No comments:
Post a Comment