Sunday, August 3, 2014

Sejarah AKHLAK ROSULULLAH SAW SUNNAH ROSULULLAH.




Akhlak Rasulullah yang ia merupakan kunci bagi kita untuk bertemu dengan Allah subhana wa ta’ala dalam keadaan diridoi, untuk mendapatkan rahmat dari Allah subhana wa ta’ala di hari kiamat kelak. Maka kunci tersebut adalah dengan kita mengambil teladan mencontoh beliau dalam segala aspek kehidupan, baik itu dalam akhlak, akidah, ibadah, adab dan seterusnya.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
dan sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam suri teladan yang baik, diperuntukkan bagi orang-orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah subhana wa ta’ala dan mengharapkan rahmat-Nya pada hari kiamat kelak dan banyak mengingat Allah.
Maka kunci bagi untuk mendapatkan rahmat dan bertemu dengan Allah dalam keadaan diridhoi adalah dengan kita mengambil teladan dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Diantara teladan Rasulullah ajarkan kepada kita adalah dalam bidang akhlak, dimana Rasulullah memiliki akhlak-akhlak yang utama, akhlak-akhlak yang mulia. Diantara akhlak beliau adalah tentang sifat pemaaf beliau.
Beliau adalah seorang manusia yang memiliki sifat-sifat yang paripurna, sifat-sifat yang mulia, dan diantara sifat beliau yang merupakan akhlak yang terpuji akhlak yang mulia, adalah sifat pemaaf beliau. Sifat pemaaf ini banyak dapat kita jumpai dari beliau dalam kejadian-kejadian yang telah berlalu dalam hadis-hadis shahih. Diantaranya adalah tentang kisah ketika seorang badui mencuri pedang beliau ketika beliau sedang tidur, dalam sebuah hadis yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

 عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا , أَخْبَرَهُ : أَنَّهُ غَزَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ نَجْدٍ , فَلَمَّا قَفَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَفَلَ مَعَهُ , فَأَدْرَكَتْهُمُ الْقَائِلَةُ فِي وَادٍ كَثِيرِ الْعِضَاهِ , فَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَفَرَّقَ النَّاسُ فِي الْعِضَاهِ يَسْتَظِلُّونَ بِالشَّجَرِ , وَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ سَمُرَةٍ فَعَلَّقَ بِهَا سَيْفَهُ , قَالَ جَابِرٌ : فَنِمْنَا نَوْمَةً , ثُمَّ إِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُونَا فَجِئْنَاهُ , فَإِذَا عِنْدَهُ أَعْرَابِيٌّ جَالِسٌ , فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِنَّ هَذَا اخْتَرَطَ سَيْفِي وَأَنَا نَائِمٌ , فَاسْتَيْقَظْتُ وَهُوَ فِي يَدِهِ صَلْتًا , فَقَالَ لِي : مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّي ؟ قُلْتُ : اللَّهُ ” , فَهَا هُوَ ذَا جَالِسٌ ثُمَّ لَمْ يُعَاقِبْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma beliau mengabarkan bahwa beliau dahulu pernah berjihad bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menuju Najd, ketika Rasululllah shallallahu’alaihi wa sallam berjalan maka berjalan mengikutinya, setelah perjalanan yang lama letih pun menimpa mereka sehingga mereka beristirahat di suatu lembah yang di sana terdapat banyak pohon. Maka Rasulullah pun singgah di sana dan para sahabat berpencar mencari naungan pohon dari terik matahari. Rasulullah beristirahat di bawah sebuah pohon dan menggantungkan pedangnya pada pohon tersebut. Jabir berkata, “Kami pun tertidur beberapa saat, namun tiba-tiba Rasulullah memanggil kami, maka kami pun bergegas menuju kepadanya, kami pun mendapati seorang Arab Badui duduk di samping beliau.” Rasulullah pun menceritakan perihal Arab Badui tersebut, “Orang ini tadi mencuri pedangku ketika aku sedang tertidur, maka ketika aku terbangun kudapati pedang itu berada di tangan orang ini terhunus kepadaku, dia pun berkata kepadaku, “Siapakah yang akan melindungimu dariku?” Aku pun menjawab, “Allah. (dalam riwayat lain dia mengulanginya sebanyak 3 kali dan Nabi pun menjawab dengan jawaban Allah sebanyak 3 kali) sehingga akhirnya dia pun menurunkannya, dan duduk disamping  beliau dan beliau tidak membalasnya.
Hadis lain yang menunjukkan tentang kebesaran sifat pemaaf beliau adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ ، أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا ، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبَعْدَ النَّاسِ عَنْهُ ، وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ بِهَا
Dari ‘Aisyah istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam beliau menceritakan perihal Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwasanya jika beliau diberi dua pilihan dalam suatu perkara maka pasti beliau memilih yang paling mudah selama bukan merupakan dosa dan kesalahan, namun jika perbuatan itu adalah dosa maka beliau adalah orang yang paling menjauhinya, dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah membalas perbuatan yang melukai atau pun menyakiti hati maupun fisik beliau. Namun jika kehormatan dan kemuliaan Allah dilanggar maka beliau akan membalasnya.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : ” كُنْتُ أَمْشِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ ، فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ ، فَجَبَذَهُ جَبْذَةً حَتَّى رَأَيْتُ صَفْحَ أَوْ صَفْحَةِ عُنُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ الْبُرْدِ مِنْ شِدَّةِ جَبْذِهِ ، فَقَالَ : يَا مُحَمَّدُ أَعْطِنِي مِنْ مَالِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِي عِنْدَكَ ، فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ ثُمَّ ضَحِكَ ، ثُمَّ أَمَرَ أَنْ يُعْطَى
Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bercerita bahwa suatu hari pernah berjalan bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan waktu itu beliau mengenakan sebuah kain yang ujungnya kasar, tiba-tiba seorang Arab Badui datang menghampirinya seraya menarik kain tersebut dengan kuat sehingga melukai leher beliau, aku pun melihat luka pada lehernya akibat ujung kain tersebut yang ditarik dengan kuat oleh sang Arab Badui tersebut. Arab Badui tersebut kemudian berkata kepada beliau, “Hai Muhammad, berikan kepadaku harta Allah Azza wa Jalla yang berada padamu, kemudian beliau menoleh kepadanya dan tertawa, setelah itu beliau menyuruh seseorang untuk memberikan beberapa harta kepadanya.
Selengkapnya dengarkan kajian berikut.
Pada kajian kali ini Ust. Askar Wardhana, Lc  حفظه الله menjelaskan kepada kita tentang akhlak  pemaaf Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam . Kajian ini disampaikan di Radio Aliman Surabaya hari kamis tanggal 12 September 2013.


sunnah beliau sampai hari kiamat.
Kaum muslimin yang kami muliakan, sesungguhnya segala kebaikan dan kenikmatan yang ada pada kita adalah karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ (53)
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl: 53)
Betapa melimpahnya kenikmatan yang Allah Ta’ala berikan kepada kita, yang tidak terhingga jumlahnya. Allah memberikan kita kehidupan, kesehatan, makanan, minuman, pakaian dan begitu banyak nikmat yang lainnya. Jika kita berusaha menghitung nikmat yang Allah karuniakan kepada kita, niscaya kita tidak akan mampu menghitungnya. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا (18)
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (QS. An-Nahl: 18).
Kebaikan Yang Hakiki Hanya Ada Pada Seorang Mukmin
Kaum muslimin yang kami muliakan, seorang muslim sejati tidak pernah terlepas dari tiga keadaan yang merupakan tanda kebahagiaan baginya, yaitu bila dia mendapat nikmat maka dia bersyukur, bila mendapat kesusahan maka dia bersabar, dan bila berbuat dosa maka dia beristighfar (Qowa’idul Arba’, hal. 01),
Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Bagaimanapun keadaannya, dia tetap masih bisa meraih pahala yang banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu).
Kelapangan Hidup Merupakan Bagian Dari Ujian
Merupakan sunnatullah bahwasanya Allah Ta’ala telah menentukan ujian dan cobaan bagi para hamba-Nya. Mereka akan diuji dengan berbagai macam ujian, baik dengan sesuatu yang disenangi oleh jiwa berupa kemudahan dalam hidup atau kelapangan rizki, dan juga akan diuji dengan perkara yang tidak mereka sukai, berupa kemiskinan, kesulitan, musibah atau yang lainnya.
Allah Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ (35)
“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)
‘Abdullah ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Maksudnya, Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan maksiat, serta petunjuk dan kesesatan. (Tafsiir ath-Thabari, IX/26, no. 24588).
Inilah sunnatullah yang berlaku pada para hamba-Nya. Oleh karena itulah, kita melihat manusia ini berbeda kondisi kehidupannya. Ada yang hidup dengan harta yang melimpah, fasilitas dan kedudukan. Ada juga yang ditakdirkan hidup sederhana lagi pas-pasan. Bahkan ada juga yang hidup fakir miskin dan tidak punya apa-apa.
Segala nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah ujian bagi kita, apakah kita akan menjadi hamba-Nya yang bersyukur ataukah menjadi orang yang kufur. Sungguh benar apa yang diucapkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihis salam tatkala mendapatkan nikmat, beliau mengatakan
هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْ لِيَبْلُوَنِيْ أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ (40)
“Ini termasuk karunia dari Rabb-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur ataukah mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabb-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40).
Syukur Adalah Sifat Mulia Para Nabi
Sesungguhnya para nabi dan rasul ‘alaihimush sholatu was salam adalah manusia pilihan Rabb semesta alam, yang diutus ke dunia sebagai suri tauladan bagi umatnya. Mereka adalah manusia terdepan dalam setiap amal kebajikan. Salah satu sifat yang sangat menonjol pada mereka adalah senantiasa bersyukur terhadap nikmat yang telah Allah limpahkan pada mereka. Allah Ta’ala banyak menceritakan keutamaan mereka dalam al-Qur’an sebagai teladan bagi kita. Allah ‘Azza wa Jalla menyanjung Nabi Nuh ‘alaihis salam dengan firman-Nya:
إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُوْرًا (3)
“Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. Isra’: 3)
Al-Bukhari dan Muslim menceritakan di dalam kitab Shahih-nya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun shalat malam hingga kedua kaki beliau bengkak. Lalu istri beliau, yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, ”Mengapa Anda melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang dulu maupun yang akan datang?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا
”Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4837 dan Muslim, no. 2820)
Hakikat Syukur
Syukur adalah akhlaq yang mulia, yang muncul karena kecintaan dan keridho’an yang besar terhadap Sang Pemberi Nikmat. Syukur tidak akan mungkin bisa terwujud jika tidak diawali dengan keridho’an. Seseorang yang diberikan nikmat oleh Allah walaupun sedikit, tidak mungkin akan bersyukur kalau tidak ada keridho’an. Orang yang mendapatkan penghasilan yang sedikit, hasil panen yang minim atau pendapatan yang pas-pasan, tidak akan bisa bersyukur jika tidak ada keridho’an. Demikian pula orang yang diberi kelancaran rizki dan harta yang melimpah, akan terus merasa kurang dan tidak akan bersyukur jika tidak diiringi keridho’an.
Kaum muslimin yang kami muliakan, syukur yang sebenarnya tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan “alhamdulillah”. Namun hendaknya seorang hamba bersyukur dengan hati, lisan dan anggota badannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, “Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan. (Minhajul Qosidin, hal. 305)
Adapun tugasnya hati dalam bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah
Pertama : Mengakui dan meyakini bahwa nikmat tersebut semata-mata datangnya dari Allah Ta’ala dan bukan dari selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl: 53). Meskipun bisa jadi kita mendapatkan nikmat itu melalui teman kita, aktivitas jual beli, bekerja atau yang lainnya, semuanya itu adalah hanyalah perantara untuk mendapatkan nikmat. Kedua : Mencintai Allah Ta’ala yang telah memberikan semua nikmat itu kepada kita. Ketiga : Meniatkan untuk menggunakan nikmat itu di jalan yang Allah ridhai.


No comments:

Post a Comment