Mendiskusikan tentang wafatnya Syekh Siti Jenar memang
cukup menarik. Sebagaimana banyaknya versi yang menjelaskan tentang asal-usul
dan sosol Syekh Siti Jenar, maka demikian pula halnya tentang varian versi yang
menerangkan tentang proses kematiannya. Secara umum kesamaan yang diperlihatkan
oleh berbagai literatur seputar kematian Syekh Siti Jenar hanyalah yang
berkaitan dengan masanya saja, yakni pada masa kerajaan Islam Demak di bawah
pemerintahan Raden Fatah sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Tentu hal ini
juga masih mengecualikan sebagian kisah versi Cirebon, yang menyebutkan bahwa
wafatnya Syekh Siti Jenar terjadi pada masa Sultan Trenggono. Sedangkan yang
berkaitan dengan proses kematiannya, berbagai sumber yang ada memberikan
penjelasan yang berbeda-beda. Sampai saat ini, paling tidak terdapat beberapa
asumsi (tujuh versi) mengenai proses meninggalnya Syekh Siti Jenar.
Versi Pertama
Bahwa Syekh Siti Jenar wafat karena dihukum mati oleh
Sultan Demak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh
Sunan Bonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga,
yang dilaksanakan di alun-alun kesultanan Demak. Sebagian versi ini mengacu
pada “Serat Syeikh Siti Jenar” oleh Ki Sosrowidjojo.
Versi Kedua
Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung
Jati. Pelaksana hukuman (algojo) adalah Sunan Gunung Jati sendiri, yang
pelaksanaannya di Masjid Ciptarasa Cirebon. Mayat Syekh Siti Jenar dimandikan
oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, kemudian
dimakamkan di Graksan, yang kemudian disebut sebagai Pasarean Kemlaten.
Hal ini tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39 terbitan
Emon Suryaatmana dan T.D Sudjana (alin bahasa pada tahun 1994).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudirman Tebba (2000:
41), Syekh Siti Jenar dipenggal lehernya oleh Sunan Kalijaga. Pada awalnya
mengucur darar berwarna merah, kemudian berubah menjadi putih. Syekh Siti Jenar
kemudian berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan-Nya”. Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke surga seiring dengan
kata-kata: ”Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan selain
dari Allah Yang Mahakuasa, dia akan kecewa, karena dia tidak akan memperoleh
apa yang dia inginkan”.
Untuk kisah yang terdapat dalam versi pertama dan kedua
masih memiliki kelanjutan yang hampir sama.
Sebagaimana dikemukakan dalam Suluk Syekh Siti Jenar, disebutkan
bahwa setelah Syekh Siti Jenar meninggal di Krendhawasa tahun Nirjamna Catur
Tunggal (1480 M. Tahun yang tentu saja masih terlalu dini untuk kematian Syekh
Siti Jenar), jenazahnya dibawa ke Masjid Demak, karena saat itu magrib tiba,
maka pemakaman dilakukan esok paginya agar bisa disaksikan oleh raja. Para
ulama sepakat untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar sambil melafalkan
pujian-pujian kepada Tuhan. Ketika waktu shalat tiba, para santri berdatangan
ke masjid. Pada saat itu tiba-tiba tercium bau yang sangat harum, seperti bau
bunga Kasturi. Selesai shalat para santri diperintahkan untuk meninggalkan
masjid. Tinggal para ulama saja yang tetap berada di dalamnya untuk menjaga
jenazah Syekh Siti Jenar.
Bau harum terus menyengat, oleh karena itu Syekh Malaya
mengajak ulama lainnya untuk membuka peti jenazah Syekh Siti Jenar. Tatkala
peti itu terbuka, jenazah Syekh Siti Jenar memancarkan cahaya yang sangat
indah, lalu muncul warna pelangi memenuhi ruangan masjid. Sedangkan dari bawah
peti memancarkan sinar yang amat terang, bagaikan siang hari.
Dengan gugup, para ulama mendudukkan jenazah itu, lalu
bersembah sujud sambil menciumi tubuh tanpa nyawa itu bergantian hingga ujung
jari. Kemudian jenazah itu kembali dimasukkan ke dalam peti, Syekh Malaya
terlihat tidak berkenan atas tindakan rekan-rekannya itu.
Dalam Suluk Syekh Siti Jenar dan Suluk
Walisanga dikisahkan bahwa para ulama telah berbuat curang. Jenazah Syekh
Siti Jenar diganti dengan bangkai anjing kudisan. Jenazah itu dimakamkan mereka
di tempat yang dirahasiakan. Peti jenazah diisi dengan bangkai anjing kudisan.
Bangkai itu dipertontonkan keesokan harinya kepada masyarakat untuk
mengisyaratkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar adalah sesat.
Digantinya jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing
ini ternyata diketahui oleh salah seorang muridnya bernama Ki Luntang. Dia
datang ke Demak untuk menuntut balas. Maka terjadilah perdebatan sengit antara
Ki Luntang dengan para Wali yang berakhir dengan kematiannya. Sebelum dia
mengambil kematiannya, dia menyindir kelicikan para Wali dengan mengatakan
(Sofwan, 2000: 221):
“...luh ta payo totonen derengsun manthuk, yen wus mulih
salinen, bangke sakarepmu dadi. Khadal, kodok, rase, luwak, kucing kuwuk kang
gampang lehmu sandi, upaya sadhela entuk, wangsul sinantun gajah, sun pastheake
sira nora bisa luruh reh tanah jawa tan ana...”
...nah silahkan lihat diriku yang hendak menjemput
kematian. Jika nanti aku telah mati, kau boleh mengganti jasadku sekehendakmu,
kadal, kodok, rase, luwak atau kucing tua yang mudah kau peroleh. Tapi, jika
hendak mengganti dengan gajah, kau pasti tidak akan bisa karena di tanah Jawa tidak
ada...”
Seperti halnya sang guru, Ki Luntang pun mati atas
kehendaknya sendiri, berkonsentrasi untuk menutup jalan hidup menuju pintu
kematian.
Versi Ketiga
Bahwa Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman
mati oleh Sunan Giri, dan algojo pelaksana hukuman mati tersebut adalah Sunan
Gunung Jati. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa vonis yang diberikan Sunan Giri
atas usulan Sunan Kalijaga (Hasyim, 1987: 47).
Dikisahkan bahwa Syekh Siti Jenar mempunyai sebuah
pesantren yang banyak muridnya. Namun sayang, ajaran-ajarannya dipandang sesat
dan keluar dari ajaran Islam. Ia mengajarkan tentang keselarasan antara Tuhan,
manusia dan alam (Hariwijaya, 2006: 41-42).
Hubungan manusia dengan Tuhannya diungkapkan dengan “Manunggaling
kawula-gusti” dan “Curiga Manjing Warangka”. Hubungan manusia dengan
alam diungkapkan dengan “Mengasah Mingising Budi, Memasuh Malaning Bumi”,
dan “Hamemayu Hayuning Bawana”, yang bermuara pada pembentukan “Jalma
Sulaksana”, “Al-insan Al-kamil”, “Sarira Bathara”, “Manusia
Paripurna”, “Adi Manusia” yang imbang lahir batin, jiwa-raga,
intelektual spiritual, dan kepala dadanya.
Konsep manunggaling kawula gusti oleh Syekh Siti Jenar
disebut dengan “uninong aning unong”, saat sepi senyap, hening, dan
kosong. Sesungguhnya Zat Tuhan dan zat manusia adalah satu, manusia ada dalam
Tuhan dan Tuhan ada dalam manusia.
Sunan Giri sebagai ketua persidangan, setelah mendengar
penjelasan dari berbagai pihak dan bermusyawarah dengan para Wali, memutuskan
bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat. Ajarannya bisa merusak moral
masyarakat yang baru saja mengenal Islam. Karenanya Syekh Siti Jenar dijatuhi
hukuman mati.
Syekh Siti Jenar masih diberi kesempatan selama setahun
untuk memperbaiki kesalahannya sekaligus menanti berdirinya Negara Demak secara
formal, karena yang berhak menentukan hukuman adalah pihak negara (Widji
saksono, 1995: 61). Kalau sampai waktu yang ditentukan ia tidak mengubah
pendiriannya, maka hukuman tersebut akan dilaksanakan.
Sejak saat itu, pesantren Syekh Siti Jenar ditutup dan
murid-muridnya pun bubar, menyembunyikan diri dan sebagian masih mengajarkan
ajaran wahdatul wujud meskipun secara sembunyi-sembunyi. Setelah satu
tahun berlalu, Syekh Siti Jenar ternyata tidak berbubah pendiriannya. Maka
dengan terpaksa Sunan Gunung Jati melaksanakan eksekusi yang telah disepakati
dulu. Jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di lingkungan keraton agar
orang-orang tidak memujinya.
Versi Keempat
Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang
dijatuhi Sunan Giri sendiri. Peristiwa kematian Syekh Siti Jenar versi ini
sebagaimana yang dikisahkan dalam Babad Demak. Menurut babad ini Syekh
Siti Jenar meninggal bukan karena kemauannya sendiri, dengan kesaktiannya dia
dapat menemui ajalnya, tetapi dia dibunuh oleh Sunan Giri. Keris ditusukkan
hingga tembus ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning. Setelah
mengetahui bahwa suaminya dibunuh, istri Syekh Siti Jenar menuntut bela
kematian itu kepada Sunan Giri. Sunan Giri menghiburnya dengan mengatakan bahwa
dia bukan yang membunuh Syekh Siti Jenar tetapi dia mati atas kemauannya
sendiri. Diberitahukan juga bahwa suaminya kini berada di dalam surga. Sunan
Giri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia melihat suaminya berada di
surga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana yang berkilauan
(Sofwan, 2000: 218).
Kematian Syekh Siti Jenar dalam versi ini juga
dikemukakan dalam Babad Tanah Jawa yang disandur oleh S. Santoso, dengan
versi yang sedikit memiliki perbedaan. Dalam babad ini disebutkan Syekh Siti
Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali ke masjid. Para ulama takjub
karena dia dapat terbang ke surga, namun kemudian marah karena badannya kembali
ke masjid. Melihat hal yang demikian, Sunan Giri kemudian mengatakan bahwa
tubuhnya harum ditikam dengan sebuah pedang, kemudian dibakar. Syekh Maulana
kemudian mengambil pedang dan menikamkannya ke tubuh Syekh Siti Jenar, tetapi
tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah dan menuduh Syekh Siti Jenar
berbohong atas pernyataannya yang menegaskan bahwa dia rela mati.
Syekh Siti Jenar menerima banyak tikaman dari Syekh
Maulana, tetapi dia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, “Itu
luka orang jahat, terluka tapi tidak berdarah”. Dari luka-luka Syekh Siti
Jenar itu seketika keluar darah berwarna merah. Seketika Syekh Maulana berkata
lagi, ”Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah yang keluar
berwarna merah”. Dari merah yang mengucur itu seketika berubah berwarna
putih. Syekh Maulana berkata lagi. “Ini seperti kematian pohon kayu, keluar
getah dari lukanya. Kalau ‘insan kamil’ betul tentu dapat masuk surga dengan
badan jasmaninya, berarti kawula gusti tidak terpisah”. Dalam sekejap mata
tubuh Syekh Siti Jenar hilang dan darahnya sirna.
Syekh Maulana kemudian membuat muslihat dengan membunuh
seekor anjing, membungkusnya dengan kail putih dan mengumumkan kepada
masyarakat bahwa mayat Syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing
disebabkan ajarannya yang bertentangan dengan syariat. Anjing itu kemudian di
bakar.
Beberapa waktu setelah peristiwa itu, para ulama
didatangi oleh seorang penggembala kambing yang mengaku sebagai murid Syekh
Siti Jenar. Dia berkata, ”Saya dengar para Wali telah membunuh guru saya,
Syekh Siti Jenar. Kalau memang demikian, lebih baik saya juga Tuan-tuan bunuh. Sebab
saya ini juga Allah, Allah yang menggembalakan kambing”. Mendengar
penuturannya itu kemudian Syekh Maulana membunuhnya dengan pedang yang sama
dengan yang digunakan untuk membunuh Syekh Siti Jenar. Seketika tubuh mayat
penggembala kambing itu lenyap. (Tebba, 2003: 43).
Versi Kelima
Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung
Jati, sedangkan yang menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah Sunan Kudus.
Versi tentang proses kematian Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam Serat
Negara Kertabumi yang disunting oleh Rahman Selendraningrat. Tentu bahwa
kisah eksekusi terhadap Syekh Siti jenar yang terdapat dalam versi ini berbeda
dari yang lainnya. Nampaknya kisah ini bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki
Ageng Pengging yang dilakukan oleh Sunan Kudus.
Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra
“kacirebonan” ini diawali dengan memperlihatkan posisi para pengikut Syekh Siti
Jenar di Cirebon sebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kesultanan Cirebon.
Sejumlah tokoh pengkutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi
semuanya menemui kegagalan. Tatkala Pengging dilumpuhkan, Syekh Siti Jenar yang
pada saat itu menyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon diikuti oleh para
muridnya dari Pengging. Di Cirebon, kekuatan Syekh Siti Jenar menjadi semakin
kokoh, pengikutnya meluas hingga ke desa-desa. Serelah Syekh Datuk Kahfi
meninggal dunia, Sultan Cirebon menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru
agama Islam di Padepokan Amparan Jati.
Pangeran Punjungan bersedia menjalankan tugas yang
diembankan sultan kepadanya, namun dia tidak mendapatkan murid di sana karena
orang-orang telah menjadi murid Syekh Siti Jenar. Bahkan panglima bala tentara
Cirebon bernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi muridnya Syekh Siti
Jenar. Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar merasa aman tinggal
di Cirebon Girang.
Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh
Sultan Demak. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai 700 orang prajurit
ke Cirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus,
bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu.
Langkah pertama yang diambil Sultan Cirebon adalah
mengumpulkan para murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran
Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di
istana Pangkuangwati. Selanjutnya bala tentara Cirebon dan Demak menuju
padepokan Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syekh Siti Jenar kemudian di bawa
ke masjid Agung Cirebon, tempat para Wali telah berkumpul.
Dalam persidangan itu, yang bertindak sebagai hakim
ketuan adalah Sunan Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan
memutuskan Syekh Siti Jenar harus dihukum mati. Kemudian Sunan Kudus
melaksanakan eksekusi itu menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa
itu terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506 (Sofwan, 2000: 222).
Pada peristiwa selanjutnya, mulai diperlihatkan
kecurangan yang dilakukan oleh para ulama di Cirebon terhadap keberadaan
jenazah Syekh Siti Jenar. Dikisahkan, setelah eksekusi dilaksanakan, jenazah
Syekh Siti Jenar dimakamkan di suatu tempat yang kemudian banyak diziarahi
orang. Untuk mengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara
diam-diam agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan,
sedangk di kuburan yang sering dikunjungi orang itu dimasukkan bangkai anjing
hitam.
Ketika para perziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti
Jenar dipindahkan ke Jawa Timur, kuburan di buka dan ternyata yang tergeletak
di dalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing. Para
peziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu. Ketika itu Sultan Cirebon
memanfaatkan situasi dengan mengeluarkan fatwa agar orang-orang tidak
menziarahi bangkai anjing dan agar meninggalkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar
(Sulendraningrat, 1983: 28).
Versi Keenam
Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali
Songo. Pada saatu hukuman harus dilaksanakan, para anggota Wali Songo
mendatangi Syekh Siti Jenar untuk melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi kemudian
para anggota Wali Songo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut, karena Syekh
Siti Jenar justru memilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon kepada Allah
agar diwafatkan tanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan para Sanan, sekaligus
Syekh Siti Jenar menempuh jalan kematiannya sendiri, yang sudah ditetapkan oleh
Allah. Versi ini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar yang digubah oleh Ki
Sosrowidjojo, yang kemudian disebarluaskan kembali ileh Abdul Munir Mulkan
(t.t).
Sofwan (2000: 215-217) mengutip Suluk Walingsanga (sebagaimana
juga yang terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam berbagai versi) yang
di dalamnya terdapat cerita yang mengisahkan bahwa kematian Syekh Siti Jenar
berawal dari perdebatan yang terjadi antara Syekh Siti Jenar dengan dua orang
utusan Sultan Demak, yakni Syekh Domba dan Pangeran Bayat sebagai utusan Sultan
Fatah dan Majelis Wali Songo. Dua orang utusan ini diperintah Sultan atas
persetujuan Majelis Wali Songo untuk mengadakan tukar pikiran (lebih tepatnya
menginvestigasi) dengan Syekh Siti Jenar mengenai ajaran yang dia sampaikan
kepada murid-muridnya.
Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan oleh Syekh
Siti Jenar menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di
wilayah Demak. Hal ini disebabkan ulah para muridnya yang berbuat kegaduhan,
merampok, berkelahi, bahkan membunuh. Bila ada kejahatan atau keonaran, tentu
murid Syekh Siti Jenar yang menjadi pelakunya. Ketika pengawal kerajaan
menangkap mereka, maka mereka bunuh diri di dalam penjara. Bila dikorek keterangan
dari mereka, dengan angkuh mereka mengatakan bahwa mereka adalah murid Syekh
Siti Jenar yang telah banyak mengenyam ilmu makrifat, dan selalu siap mati
bertemu Tuhan.
Mereka beranggapan bahwa hidup sekedar menjalani mati,
oleh karena itu mereka merasa jenuh menyaksikan bangkai bernyawa bertebaran di
atasnya. Dunia ini hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih memilih
meninggalkan dunia ini. Mereka juga mengejek, mengapa orang mati diajari
shalat, menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidak
pernah melihat Tuhan.
Berkenaan dengan pemahaman yang demikian ini, maka Syekh
Domba dan Pangeran Bayat diutus oleh Sultan Demak untuk menemui Syekh Siti
Jenar. Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan antara utusan Sultan dengan Syekh
Siti Jenar. Dalam perdebatan itu, terlihat bahwa kemahiran Syekh Siti Jenar
berada di atas Syekh Domba dan Pangeran Bayat. Pada akhirnya, Syekh Domba
merasa kagum atas uraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar, bahkan dia bisa
menyetujui kebenarannya. Dia ingin menjadi muridnya secara tulus, kalau saja
tidak dicegah oleh Pangeran Bayat.
Selanjutnya, kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan
apa yang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah
berunding dengan Majelis Wali Songo, Sultan kemudian mengutus lima orang Wali
untuk memanggil Syekh Siti Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan
ajarannya. Kelima utusan itu adalah Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Pangeran
Modang, Sunan Geseng, dan Sunan Bonang sebagai pemimpin utusan itu. Mereka
diikuti oleh empat puluh orang santri lengkap dengan persenjataannya untuk
memaksa Syekh Siti Jenar datang ke istana. Sesampainya di kediaman Syekh Siti
Jenar, kelima Wali tersebut terlibat perdebatan sengit. Perdebatan itu berakhir
dengan ancaman Sunan Kalijaga. Sekalipun mendapatkan ancaman dari Sunan
Kalijaga, Syekh Siti Jenar tetap tidak bersedia datang ke istana karena
menurutnya Wali dan raja tidak berbeda dengan dirinya, sama-sama terbalut darah
dan daging yang akan menjadi bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan karena
ancaman yang ada, tetapi karena kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar
kemudian berkonsentrasi, menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal dunia.
Versi Ketujuh
Bahwa
terdapat dua orang tokoh utama, yang memiliki nama asli yang berdekatan dengan
nama kecil Syekh Siti Jenar, San Ali. Tokoh yang satu adalah Hasan Ali, nama
Islam Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi yang semula berambisi menguasai
Cirebon, namun kemudian terusir dari Keraton, karena kedurhakaan kepada Rsi Bungsi
dan pemberontakannya kepada Cirebon. Ia menaruh dendang kepada Syekh Siti Jenar
yang berhasil menjadi seorang guru suci utama di Giri Amparan Jati. Tokoh yang
satunya lagi adalah San Ali Anshar al-Isfahani dari Persia, yang semua
merupakan teman seperguruan dengan Syekh Siti Jenar di Baghdad. Namun ia
menyinpan dendang pribadi kepada Syekh Siti Jenar karena kalah dalam hal ilmu
dan kerohanian.
Ketika usia Syekh siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini
bekerja sama untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa, ke
tempat-tempat yang penduduknya menyatakan diri sebagai pengikut Syekh
Siti Jenar, padahal mereka belum pernah bertemu dengan Syekh Siti Jenar.
Sehingga masyarakat tersebut kurang mengenal sosok asli Syekh Siti Jenar. Pada
tempat-tempat seperti itulah, dua tokoh pemalsu ajaran Syekh Siti Jenar
memainkan perannya, mengajarkan berbagai ajaran mistik, bahkan perdukunan yang
menggeser ajaran tauhid Islam.
Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, dan
San Ali Anshar mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar. Hasan Ali beroperasi
di Jawa bagian Barat, sementara San Ali Anshar di Jawa Bagian Timur. Kedua
orang ini sebenarnya yang dihukum mati oleh anggota Wali Songo, karena sudah
melancarkan berbagai fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar sebagai guru dan
anggota Wali Songo.
Kemungkinan karena silang sengkarut kemiripan nama
itulah, maka dalam berbagai Serat dan babad di daerah Jawa, cerita tentang
Syekh Siti Jenar menjadi simpang siur. Namun pada aspek yang lain, ranah
politik juga ikut memberikan andil pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar. Karena
naiknya Raden Fatah ke tampuk kekuasaan Kesultanan Demak, diwarnai dengan
intrik perebutan tahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh, sehingga segala
intrik bisa terjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan, termasuk dengan mempolitisasi
ajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki dukungan massa banyak, namun tidak
menggabungkan diri dalam ranah kekuasaan Raden Fatah.
Jadi dikaitkan dengan kekuasaan Sultan Trenggono,
sebagaimana tercatat dalam berbagai fakta sejarah, naiknya Sultan Trenggono
sebagai penguasa tunggal Kesultanan Demak, adalah dengan cara berbagai tipu
muslihat dan pertumpahan darah. Karena sebenarnya yang berhak menjadi Sultan
adalah Pangeran Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda Ing
Lepen, kakak laki-laki Sultan Trenggono yang seharusnya menggantikan Adipati
Unus. “Seda Ing Lepen” artinya meninggal di sungai.
Sebenarnya Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai,
namun dibunuh oleh orang-orang suruhan Pangeran Trenggono, baru setelah
terbunuh, mayatnya dibuang ke sungai (Daryanto, 2009: 215-278). Kematian
kakaknya tersebut diduga atas strategi Sultan Trenggono. Sultan Trenggono
sendiri, pada mulanya tidaklah begitu disukai oleh para adipati dan kebanyakan
masyarakat, karena sifatnya yang ambisius, yang dibingkai dalam sikap yang
lembut.
Salah satu tokoh penentang utama naiknya Trenggono
sebagai Sultan adalah Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid utama Syekh
Siti Jenar. Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah
belum mau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan kemudian
kurang menyukai Sultan Trenggono. Mungkin oleh karena faktor inilah, maka
Sultan Trenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut
Syekh Siti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syekh Siti Jenar
dihukum mati oleh Dewan Wali Songo di masjid Demak, dan mayatnya berubah
menjadi anjing kudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu
hal yang sangat mustahil terjadi dalam konteks hukum Islam, namun tentu
dianggap sebagai sebuah kebenaran atas nama kemukjizatan bagi masyarakat
awam.
Keberadaan para ulama “penjilat” penguasa, yang untuk
memenuhi ambisi duniawinya bersedia mengadakan fitnah terhadap sesama ulama,
dan untuk selalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu
ajaran kebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak
kepentingan penguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama. Imam
Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ “Ulum al-Din menyebutkan sebagai al-‘ulama’
al-su’ (ulama yang jelek dan kotor). Sementara ketika Sunan Kalijaga
melihat tingkah laku para ulama pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya
moral dan akhlak penguasa, disamping fitnah keji yang ditujukan kepada sesama
ulama, namun beda pendapat dan kepentingan, maka Sunan Kalijaga membuatkan
deskripsi secara halus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai
dalang, Sunan Kalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi politik
dan memiliki karakter jelek sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa)
dan Pendeta Durna (ulama yang bermuka dua, munafik).
Kedua tokoh tersebut dalam serial pewayangan model Sunan
Kalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama;
memakai surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang. Pemberian
karakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkan
sejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahat
yang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai Sang
Yamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengan
dirinya atau dengan penguasa di mana sang ulama mengabdikan dirinya. Hal
tersebut merupakan cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yang
sudah mencitrakan pakaian keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut Sang
Pencabut Nyawa. Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karena
dalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus dibungkus
habis.
Gambaran pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak Sunan
Kalijaga terhadap para ulama yang menjilat kepada kekuasaan, bahkan
aktivitasnya digunakan untuk semata-mata membela kepentingan politik dan
kekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan
pribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulama
yang ‘tukang’ hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulah
yang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna.
Berbagai versi tentang kematian Syekh Siti Jenar
menunjukkan bahwa tokoh Syekh Siti Jenar memang sangat kontroversional.
Berbagai literatur yang ada tidak dapat memastikan tentang asal-usul
keberadaannya hingga proses kematian yang dialaminya, disebabkan oleh banyak
faktor dan kepentingan yang mengitarinya. Walaupun demikian, sejumlah besar
keterangan yang mengisahkan tentang keberadaannya memerlihatkan ajarannya yang
selalu dipertentangkan dengan paham para Wali, namun sekaligus tidak jarang
membuat para Wali itu sendiri “kagum” dan “mengakui” kebenaran ajarannya. Tentu
saja, “pengakuan” dan “kekaguman” itu tidak pernah diperlihatkan secara
eksplisit karena akan mengurangi “keagungan” mereka, disamping kurang
objektifnya penulisan serat dan babad Jawa, yang terkait dengan Syekh Siti
Jenar.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa dalam berabgai
Serat dan Babad tersebut, akhir dari kisah Syekh Siti Jenar selalu dihiasi
dengan usaha-usaha intrik politik para Wali. Bisa jadi hal ini memang dilakukan
oleh para ulama penjilat kekuasaan, oleh murid-murid generasi penerus para
ulama yang pernah memusuhi ajaran Syekh Siti Jenar, atau para penulis kisah
yang juga memiliki kepentingan tersendiri terkait dengan motif politik,
ideologi, keyakinan, dan ajaran keagamaan yang dianutnya.
Pada sisi lain, disamping disebabkan banyaknya referensi
yang berbeda dalam menjelaskan kisah Syekh Siti Jenar, pemahaman mereka yang
membaca akan memberikan pemahaman baru dari bacaan tersebut sehingga
memperbanyak versi. Misalnya, tentang pemahaman salah satu versi mengenai asal-usul
Syekh Siti Jenar yang dalam Serat Syekh Siti Jenar, sebagaimana juga
disadur dalam Falsafah Syekh Siti Jenar disebut “berasal dari caing
(elur)”.
Sebagian penafsir mengatakan bahwa memang Syekh Siti
Jenar bukanlah berasal dari manusia, namun semula ia adalah seekor cacing yang
disumpah oleh Sunan Bonang menjadi manusia. Padalah, jika cara pembacaan ini
dilakukan dengan cara referensi silang, kita mendapatkan penjelasan dari sumber
lain, misalnya dalam Serat Seh Siti Jenar yang tersimpan di musem Radya
Pustaka Surakarta, bahwa yang dimaksud “elur” (cacing) tidak lain adalah
“wrejid bangsa sudra” (yang berasal dari rakyat jelata). Maksudnya Syekh Siti Jenar
adalah masyarakat biasa yang berhasil menjadi Wali, atau seorang Wali yang
menjelata (menempatkan dirinya berada di tengah-tengah mansyarakat jelata)
(lihat misalnya Sujamto, 2000: 87).
Sumber : K.H. Muhammad Sholikhin. Ternyata Syekh Siti
Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo. Erlangga. Boyolali: 2008.
No comments:
Post a Comment